Senin, 03 Juni 2013

Hegemoni Amerika Serikat di Timur Tengah


Nama: Rizka Valentina
NIM: 0901085031     
Hegemoni Amerika Serikat di Timur Tengah

Timur Tengah adalah sebuah wilayah yang tidak lepas dari masalah yang ada di dunia. Timur Tengah mempunyai letak yang sangat strategis sebagai penghubung benua Asia, Afrika, dan Eropa. Kekuatan-kekuatan besar dunia  masa lampau seperti kerajaan Persia, Turki Ustmaniyah, dan Perancis masa Napoleon, berusaha untuk menjadi penguasa di wilayah ini. Pada masa Perang Dunia I dan II, Timur Tengah memainkan peranan penting dalam kemenangan pihak sekutu. Persenjataan, basis-basis militer dan jalur logistik sekutu melewati Timur Tengah selama kedua perang dunia itu berlangsung.
AS mulai menengok lebih jauh ke Timur Tengah setelah Perang Dunia II. Sebelumnya perang AS di wilayah ini hanya terbatas pada misi keagamaan, pendidikan dan penelitian situs-situs masa lampau. Setelah kandungan minyak ditemukan dan dieksploitasi secara besar-besaran pada pertengahan 1940-an, AS mulai menanamkan investasi dengan jumlah yang lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya. Kepentingan ekonomi (minyak) dan kepentingan strategi AS di Timur Tengah, membuat AS berusaha untuk menghindari wilayah ini jatuh ke tangan blok Komunis (Uni Soviet). Tarik-menarik kepentingan antar kekuatan dunia di Timur Tengah terus berlangsung setelah runtuhnya Komunisme di Uni Soviet. AS bahkan terus berusaha untuyk menancapkan hegemoninya seperti terlihat dari kasus invasi mereka ke Iraq (2003) dan keinginan menyerang Iran (2006).[1]
Timur Tengah oleh Dunia Barat kadangkala disebut dengan “Near East”. “Near East” adalah sebutan yang lama untuk wilayah Timur Tengah yang muncul pada abad ke-15, ketika para pelaut Portugis mencari benua Asia. Mereka sejak saat itu menyebut daerah Mediteranian (Laut Tengah) dengan sebutan “Near East”. Istilah “Middle East” muncul saat Perang Dunia II. Inggris menggunakan istilah itu untuk menamakan daerah operasional yang membentang dari Afrika Utara sampai ke Iran. Dengan berjalannya waktu, istilah “Middle East” lebih banyak dipakai oleh kalangan akademisi dan diplomat di seluruh dunia, menggantikan istilah “Near East”. Dewasa ini warga dunia lebih banyak menggunakan “Middle East” untuk wilayah yang mencakup Semenanjung Arabia, Yordania, Lebanon, Suriah, Iraq, Iran, dan Mesir.[2]
Para politisi Gedung Putih melihat, bahwa dinamika politik di kawasan Timur Tengah, dengan kebangkitan Islam potensial menjadi faktor penghalang bagi AS untuk melindungi sekutunya Israel. Karena itu, pemerintahan AS mencari cara lain agar tetap bisa mengontrol negara-negara Timur Tengah demi melindungi kepentingan Israel. Para politisi AS yang mempunyai paham neoimperialisme menilai bahwa cara yang harus diambil adalah dengan program demokrasi yang dimanifestasikan dalam tiga wajah liberalisme, yaitu liberalisme politik dengan wujud demokrasi liberal, liberalisme ekonomi berbentuk kapitalisme, dan liberalisme moral di berbagai negara Timur Tengah. Untuk mencapai tujuannya tersebut, AS memaksa negara-negara di kawasan itu yang selama ini menjadi sekutunya, agar mengizinkan berbagai LSM beraktivitas. Walaupun bergerak sebagai organisasi nonpolitik, LSM-LSM ini sebenarnya bertujuan untuk melaksanakan berbagai keinginan Washington. Mereka menggalang dukungan untuk partai-partai tertentu yang pro-Amerika agar bisa menang dalam pemilu. Pada waktunya, bila partai-partai pro AS itu berkuasa, tentu akan mudah bagi AS untuk memaksakan kehendaknya.[3]
Di beberapa negara, AS memang berhasil memaksakan kehendaknya agar diterapkan demokrasi liberal dengan cara penyelenggaraan pemilu untuk memilih pemerintahan baru. Namun, rakyat di kawasan Timur Tengah ternyata sudah semakin sadar secara politik dan memahami rencana konspirasi politik AS terhadap masa depan bangsa mereka. Terbukti, dari berbagai hasil pemilu yang sudah dilaksanakan, ternyata tidak sejalan dengan keinginan AS. Misalnya, pemilu di Palestina, rakyat Palestina justru memilih para kandidat parlemen dari partai politik HAMAS[4]. Padahal AS merencanakan agara partai liberal yang memenangkan pemilu, agar AS bisa mendiktenya.
Ini membuktikan bahwa demokrasi di mata AS memiliki standar ganda. Jika demokrasi memberi peluang bagi terwujudnya kehendak AS, maka negara bersangkutan akan memanfaatkan demokrasi liberal. Jika terjadi sebaliknya, AS tidak segan-segan melakukan berbagai langkah yang bertentangan dengan nilai yang terkandung dalam demokrasi, misalnya peendudukan di Iraq. Pada awalnya, alasan yang dikemukakan AS dalam melakukan agresinya ke Iraq adalah untuk menemukan bom pemusnah masal dan menegakan demokrasi liberal di negara itu. Namun, bom tak pernah ditemukan dan pemerintahan Iraq sudah terbentuk secara demokratis. Dan ternyata pemerintahan pilihan rakyat itu tidak sesuai dengan keinginan AS, dengan alasan itulah ribuan prajurit AS tak pernah meninggalkan Iraq hingga sekarang. Demikian juga dengan agresi militer Israel atas Libanon Selatan yang sepenuhnya di restui oleh pemerintahan AS, karena mereka menganggap bahwa Hizbullah[5] merupakan organisasi teroris yang ada dalam pemerintahan Libanon, bahkan mereka menganggap Hizbullah sebagai negara dalam negara.
AS tetap bersikukuh menjadikan kesediaan negara-negara internasional untuk terlibat dalam kampanye antiterorisme global sebagai kriteria tunggal dalam menentukan lawan dan kawan. Pada saat yang sama, AS menolak untuk melakukan retrospeksi atas berbagi kebijakan luar negerinya selama ini. Beberapa peristiwa bisa dicermati, misalnya, aksi Israel yang didukung oleh AS untuk memboikot pemerintahan Palestina yang berada di tangan partai politik HAMAS yang meraih kemenangan dalam pemilu untuk meredam kelompok-kelompok yang dianggap “teroris”. Karena Israel sendiri menyebut para pelaku aksi bom bunuh diri Palestina sebagai teroris, namun ingkar pada realitas bahwa angkatan bersenjatanya telah bertindak brutal menewaskan ribuan warga Palestina.
Fenomena paradoks dalam sikap dan tindakan akan berimbas pada timbulnya perasaan tidak nyaman yang dialami oleh pihak yang bersangkutan, dalam hal ini AS. Ini berarti, dalam konteks kampanye war on terror, AS tidak akan mengoreksi kesimpangsiuran langkahnya. Sebaliknya, AS akan menjalankan sebuah mekanisme yang memungkinkan dirinya mengaktifkan maupun mematikan secara selektif kontrol internal atas tindak-tanduknya di kawasan Timur Tengah khususnya.[6]
Julukan terorisme ditujukan untuk merusak citra negara tertentu, sementara operasi militer telah menghasilkan kerugian material luar biasa dan korban nyawa dalam jumlah yang berlipat ganda dibandingkan dengan korban 11 September 2001. Untuk mengaburkan kehancuran objektif ini , AS membandingkannya dengan manfaat yang akan diraih dunia seiring dengan binasanya jaringan terorisme internasional. AS membangun sebuah persepsi umum bahwa ekses negatif yang diakibatkan oleh kampanye war on terror yang kebablasan tidak akan terjadi tanpa didahului oleh peristiwa 11 September. Beranjak dari keyakinan bahwa dirinyalah korban, AS berdalih bahwa segala tindakannya, selanjutnya merupakan reaksi balasan belaka. Kesalahan mendasar terletak pada diri mereka yang terlibat dalam serangan 11 September 2001. Karena itu, AS akan senantiasa memiliki alasan bagi dilanjutkannya aksi pemberantasan teroris hingga ke akar-akarnya, meskipun pada kenyataannya perluasan misi ini telah menyimpang jauh. Bahkan war on terror tidak akan berhasil dalam memberantas teroris dengan menerapkan pendekatan teror, baik berbentuk agresi, invasi, maupun dominasi yang dilakukannya di wilayah Timur Tengah.
Dinamika yang terjadi di berbagai negeri Islam ini lebih seperti individu yang berada di bawah pengaruh hipnotis. Dirinya yang “kosong” diisi oleh sang penghipnotis. Individu tersebut akan patuh, karena kontrol dirinya telah beralih ke penghipnotis. Dalam konteks ini, kontrol diri analog dengan mindset. Yakni kerangka berpikir bangsa Islam atas definisi ‘kawan daN lawan’ agar berkelindan dengan kriteria absolut yang ditetapkan Amerika. Melalui mindset inilah komunitas Islam memandang dirinya sendiri dan menjalin relasi dengan sesama komunitas Islam lainnya.
Jadi, pada aspek ini negara-negara Islam mengalami degradasi dan beralih rupa laksana kerumunan atau gerombolan belaka. Implikasinya, pertama mereka kehilangan independensi dalam memeutuskan sikap. Meski disamarkan lewat berbagai rasionalisasi dalam bentuk pernyataan-pernyataan bersayap, namun pada faktanya kedaulatan dalam menentukan posisi formal kenegaraan telah direnggut.
Kedua, khususnya bagi negara-negara yang berdasarkan Islam maupun berpenduduk mayoritas Islam, mereka ‘bersatu’ sekedar untuk menegaskan bahwa kemelut AS dan Iran sama sekali tidak merepresentasikan gejolak antara AS dan Islam. Patut dipahami bahwa kebersatuan kata ini hanya kebetulan belaka, yakni mereka dipersatukan dalam sebuah isu oleh pihak tertentu. Tanpa disertai dengan kesadaran dan penghayatan yang kukuh bahwa mereka adalah satu.
Inilah manifestasi atribusi eksternal yang tidak stabil, yakni, ‘keberasamaan Islam’ lebih ditentukan oleh faktor eksternal ketimbang internal.[7] Bertahan atau bubarnya ‘kebersamaan dalam Islam’ itu, bergantung pada kontrol eksternal tersebut. Manakala isu menghilang dan pihak eksternal tidak mengangkat isu itu lagi, sementara negara-negara Islam tidak mampu menggantikannya dengan faktor pengikat internal, maka pada saat itu pulalah ‘kebersamaam dalam Islam’ itu akan sirna.
Mungkin ini merupakan ikhtiar para pemimpin negara-negara Islam untuk menangkal terjadinya perluasan sekaligus transformasi konflik. Atau, dapat juga ditafsirkan sebagai bentuk keluguan bangsa Timur Tengah dan Islam. Karena itu, umat Islam seharusnya dapat memahami bahwa crusade[8] lebih dari sekedar retorika dari pemerintahan AS sesaat setelah bangunan-bangunan utama kota New York bergelimang api adalah metafora tentang konflik historis Islam versus Kristen yang tersembunyi dalam sanubari kalangan neoimperialisme AS. Ini menjadi bukti tegas bahwa stigmatisasi tentang komunitas Islam pun kuat pengaruhnya di dalam benak para pemimpin negara-negara yang menjadi sekutu AS.



DAFTAR PUSTAKA

Phillip. K. Hitti. 2010. Sejarah Arab. Jakarta: Serambi
Riza Sihbudi. 2007. MenyanderaTimur Tengah. Bandung: Mizan
Samuel T. Huntington. 2009. Benturan Antar Peradaban. Jakarta:Qalam
Yaroslav Trofimov. 2008. Kudeta Mekkah: Sejarah yang Tak Terkuak. Jakarta: Alfabet


[1] Samuel T. Huntington. 2009. Benturan Antar Peradaban. Jakarta:Qalam. Hal 123
[2] Phillip. K. Hitti. 2010. Sejarah Arab. Jakarta: Serambi. Hal 956
[3] Riza Sihbudi. 2007. MenyanderaTimur Tengah. Bandung: Mizan. Hal 15
[4] Harakat Al-Muqawwamah Al-Islamiyah
[5] Organisasi politik di Libanon yang selain berpolitik menggalang suara untuk pemilu juga ikut dalam usaha pengusiran tentara Israel.
[6] Yaroslav Trofimov. 2008. Kudeta Mekkah: Sejarah yang Tak Terkuak. Jakarta: Alfabet. Hal 256
[7] Terbukti bahwa kepedulian ormas Islam di Indonesia lebih tinggi dalam membela penindasan terhadap Muslim yang ada di luar negeri ketimbang dampak kemiskinan yang tak bisa dielakan terjadi di Indonesia yang dialami oleh sebagian besar kaum Muslim sendiri.
[8] Crusade=Perang salib; asumsi yang sering kali dipakai oleh para fundamentalis Islam dalam rangka membentuk opini mereka terhadap pengaruh AS di hampir seluruh bagian Timur Tengah.

1 komentar: