NIM: 0901085031
Hegemoni Amerika Serikat di
Timur Tengah
Timur Tengah adalah
sebuah wilayah yang tidak lepas dari masalah yang ada di dunia. Timur Tengah
mempunyai letak yang sangat strategis sebagai penghubung benua Asia, Afrika,
dan Eropa. Kekuatan-kekuatan besar dunia
masa lampau seperti kerajaan Persia, Turki Ustmaniyah, dan Perancis masa
Napoleon, berusaha untuk menjadi penguasa di wilayah ini. Pada masa Perang
Dunia I dan II, Timur Tengah memainkan peranan penting dalam kemenangan pihak
sekutu. Persenjataan, basis-basis militer dan jalur logistik sekutu melewati
Timur Tengah selama kedua perang dunia itu berlangsung.
AS mulai menengok
lebih jauh ke Timur Tengah setelah Perang Dunia II. Sebelumnya perang AS di
wilayah ini hanya terbatas pada misi keagamaan, pendidikan dan penelitian
situs-situs masa lampau. Setelah kandungan minyak ditemukan dan dieksploitasi
secara besar-besaran pada pertengahan 1940-an, AS mulai menanamkan investasi
dengan jumlah yang lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya. Kepentingan ekonomi
(minyak) dan kepentingan strategi AS di Timur Tengah, membuat AS berusaha untuk
menghindari wilayah ini jatuh ke tangan blok Komunis (Uni Soviet).
Tarik-menarik kepentingan antar kekuatan dunia di Timur Tengah terus
berlangsung setelah runtuhnya Komunisme di Uni Soviet. AS bahkan terus berusaha
untuyk menancapkan hegemoninya seperti terlihat dari kasus invasi mereka ke
Iraq (2003) dan keinginan menyerang Iran (2006).[1]
Timur Tengah oleh
Dunia Barat kadangkala disebut dengan “Near East”. “Near East” adalah sebutan
yang lama untuk wilayah Timur Tengah yang muncul pada abad ke-15, ketika para
pelaut Portugis mencari benua Asia. Mereka sejak saat itu menyebut daerah
Mediteranian (Laut Tengah) dengan sebutan “Near East”. Istilah “Middle East”
muncul saat Perang Dunia II. Inggris menggunakan istilah itu untuk menamakan
daerah operasional yang membentang dari Afrika Utara sampai ke Iran. Dengan
berjalannya waktu, istilah “Middle East” lebih banyak dipakai oleh kalangan
akademisi dan diplomat di seluruh dunia, menggantikan istilah “Near East”.
Dewasa ini warga dunia lebih banyak menggunakan “Middle East” untuk wilayah
yang mencakup Semenanjung Arabia, Yordania, Lebanon, Suriah, Iraq, Iran, dan
Mesir.[2]
Para politisi
Gedung Putih melihat, bahwa dinamika politik di kawasan Timur Tengah, dengan
kebangkitan Islam potensial menjadi faktor penghalang bagi AS untuk melindungi
sekutunya Israel. Karena itu, pemerintahan AS mencari cara lain agar tetap bisa
mengontrol negara-negara Timur Tengah demi melindungi kepentingan Israel. Para
politisi AS yang mempunyai paham neoimperialisme menilai bahwa cara yang harus
diambil adalah dengan program demokrasi yang dimanifestasikan dalam tiga wajah
liberalisme, yaitu liberalisme politik dengan wujud demokrasi liberal,
liberalisme ekonomi berbentuk kapitalisme, dan liberalisme moral di berbagai
negara Timur Tengah. Untuk mencapai tujuannya tersebut, AS memaksa
negara-negara di kawasan itu yang selama ini menjadi sekutunya, agar
mengizinkan berbagai LSM beraktivitas. Walaupun bergerak sebagai organisasi
nonpolitik, LSM-LSM ini sebenarnya bertujuan untuk melaksanakan berbagai
keinginan Washington. Mereka menggalang dukungan untuk partai-partai tertentu
yang pro-Amerika agar bisa menang dalam pemilu. Pada waktunya, bila
partai-partai pro AS itu berkuasa, tentu akan mudah bagi AS untuk memaksakan
kehendaknya.[3]
Di beberapa negara,
AS memang berhasil memaksakan kehendaknya agar diterapkan demokrasi liberal
dengan cara penyelenggaraan pemilu untuk memilih pemerintahan baru. Namun,
rakyat di kawasan Timur Tengah ternyata sudah semakin sadar secara politik dan
memahami rencana konspirasi politik AS terhadap masa depan bangsa mereka.
Terbukti, dari berbagai hasil pemilu yang sudah dilaksanakan, ternyata tidak
sejalan dengan keinginan AS. Misalnya, pemilu di Palestina, rakyat Palestina
justru memilih para kandidat parlemen dari partai politik HAMAS[4]. Padahal AS merencanakan
agara partai liberal yang memenangkan pemilu, agar AS bisa mendiktenya.
Ini membuktikan
bahwa demokrasi di mata AS memiliki standar ganda. Jika demokrasi memberi
peluang bagi terwujudnya kehendak AS, maka negara bersangkutan akan
memanfaatkan demokrasi liberal. Jika terjadi sebaliknya, AS tidak segan-segan
melakukan berbagai langkah yang bertentangan dengan nilai yang terkandung dalam
demokrasi, misalnya peendudukan di Iraq. Pada awalnya, alasan yang dikemukakan
AS dalam melakukan agresinya ke Iraq adalah untuk menemukan bom pemusnah masal
dan menegakan demokrasi liberal di negara itu. Namun, bom tak pernah ditemukan
dan pemerintahan Iraq sudah terbentuk secara demokratis. Dan ternyata
pemerintahan pilihan rakyat itu tidak sesuai dengan keinginan AS, dengan alasan
itulah ribuan prajurit AS tak pernah meninggalkan Iraq hingga sekarang.
Demikian juga dengan agresi militer Israel atas Libanon Selatan yang sepenuhnya
di restui oleh pemerintahan AS, karena mereka menganggap bahwa Hizbullah[5] merupakan organisasi
teroris yang ada dalam pemerintahan Libanon, bahkan mereka menganggap Hizbullah
sebagai negara dalam negara.
AS tetap bersikukuh
menjadikan kesediaan negara-negara internasional untuk terlibat dalam kampanye
antiterorisme global sebagai kriteria tunggal dalam menentukan lawan dan kawan.
Pada saat yang sama, AS menolak untuk melakukan retrospeksi atas berbagi
kebijakan luar negerinya selama ini. Beberapa peristiwa bisa dicermati,
misalnya, aksi Israel yang didukung oleh AS untuk memboikot pemerintahan
Palestina yang berada di tangan partai politik HAMAS yang meraih kemenangan
dalam pemilu untuk meredam kelompok-kelompok yang dianggap “teroris”. Karena
Israel sendiri menyebut para pelaku aksi bom bunuh diri Palestina sebagai
teroris, namun ingkar pada realitas bahwa angkatan bersenjatanya telah
bertindak brutal menewaskan ribuan warga Palestina.
Fenomena paradoks
dalam sikap dan tindakan akan berimbas pada timbulnya perasaan tidak nyaman
yang dialami oleh pihak yang bersangkutan, dalam hal ini AS. Ini berarti, dalam
konteks kampanye war on terror, AS
tidak akan mengoreksi kesimpangsiuran langkahnya. Sebaliknya, AS akan
menjalankan sebuah mekanisme yang memungkinkan dirinya mengaktifkan maupun
mematikan secara selektif kontrol internal atas tindak-tanduknya di kawasan
Timur Tengah khususnya.[6]
Julukan terorisme
ditujukan untuk merusak citra negara tertentu, sementara operasi militer telah
menghasilkan kerugian material luar biasa dan korban nyawa dalam jumlah yang
berlipat ganda dibandingkan dengan korban 11 September 2001. Untuk mengaburkan
kehancuran objektif ini , AS membandingkannya dengan manfaat yang akan diraih
dunia seiring dengan binasanya jaringan terorisme internasional. AS membangun
sebuah persepsi umum bahwa ekses negatif yang diakibatkan oleh kampanye war on terror yang kebablasan tidak akan
terjadi tanpa didahului oleh peristiwa 11 September. Beranjak dari keyakinan
bahwa dirinyalah korban, AS berdalih bahwa segala tindakannya, selanjutnya
merupakan reaksi balasan belaka. Kesalahan mendasar terletak pada diri mereka
yang terlibat dalam serangan 11 September 2001. Karena itu, AS akan senantiasa
memiliki alasan bagi dilanjutkannya aksi pemberantasan teroris hingga ke
akar-akarnya, meskipun pada kenyataannya perluasan misi ini telah menyimpang
jauh. Bahkan war on terror tidak akan
berhasil dalam memberantas teroris dengan menerapkan pendekatan teror, baik
berbentuk agresi, invasi, maupun dominasi yang dilakukannya di wilayah Timur
Tengah.
Dinamika yang
terjadi di berbagai negeri Islam ini lebih seperti individu yang berada di
bawah pengaruh hipnotis. Dirinya yang “kosong” diisi oleh sang penghipnotis.
Individu tersebut akan patuh, karena kontrol dirinya telah beralih ke
penghipnotis. Dalam konteks ini, kontrol diri analog dengan mindset. Yakni kerangka berpikir bangsa
Islam atas definisi ‘kawan daN lawan’ agar berkelindan dengan kriteria absolut
yang ditetapkan Amerika. Melalui mindset
inilah komunitas Islam memandang dirinya sendiri dan menjalin relasi dengan
sesama komunitas Islam lainnya.
Jadi, pada aspek ini negara-negara Islam mengalami
degradasi dan beralih rupa laksana kerumunan atau gerombolan belaka.
Implikasinya, pertama mereka
kehilangan independensi dalam memeutuskan sikap. Meski disamarkan lewat
berbagai rasionalisasi dalam bentuk pernyataan-pernyataan bersayap, namun pada
faktanya kedaulatan dalam menentukan posisi formal kenegaraan telah direnggut.
Kedua, khususnya bagi negara-negara
yang berdasarkan Islam maupun berpenduduk mayoritas Islam, mereka ‘bersatu’
sekedar untuk menegaskan bahwa kemelut AS dan Iran sama sekali tidak
merepresentasikan gejolak antara AS dan Islam. Patut dipahami bahwa kebersatuan
kata ini hanya kebetulan belaka, yakni mereka dipersatukan dalam sebuah isu
oleh pihak tertentu. Tanpa disertai dengan kesadaran dan penghayatan yang kukuh
bahwa mereka adalah satu.
Inilah manifestasi atribusi
eksternal yang tidak stabil, yakni, ‘keberasamaan Islam’ lebih ditentukan oleh
faktor eksternal ketimbang internal.[7] Bertahan atau bubarnya
‘kebersamaan dalam Islam’ itu, bergantung pada kontrol eksternal tersebut.
Manakala isu menghilang dan pihak eksternal tidak mengangkat isu itu lagi,
sementara negara-negara Islam tidak mampu menggantikannya dengan faktor
pengikat internal, maka pada saat itu pulalah ‘kebersamaam dalam Islam’ itu
akan sirna.
Mungkin ini
merupakan ikhtiar para pemimpin negara-negara Islam untuk menangkal terjadinya
perluasan sekaligus transformasi konflik. Atau, dapat juga ditafsirkan sebagai
bentuk keluguan bangsa Timur Tengah dan Islam. Karena itu, umat Islam
seharusnya dapat memahami bahwa crusade[8]
lebih dari sekedar retorika dari pemerintahan AS sesaat setelah bangunan-bangunan
utama kota New York bergelimang api adalah metafora tentang konflik historis
Islam versus Kristen yang tersembunyi dalam sanubari kalangan neoimperialisme
AS. Ini menjadi bukti tegas bahwa stigmatisasi tentang komunitas Islam pun kuat
pengaruhnya di dalam benak para pemimpin negara-negara yang menjadi sekutu AS.
DAFTAR PUSTAKA
Phillip. K. Hitti. 2010. Sejarah Arab. Jakarta: Serambi
Riza Sihbudi. 2007. MenyanderaTimur
Tengah. Bandung: Mizan
Samuel
T. Huntington. 2009. Benturan Antar
Peradaban. Jakarta:Qalam
Yaroslav Trofimov. 2008. Kudeta Mekkah: Sejarah yang Tak Terkuak. Jakarta: Alfabet
[5] Organisasi
politik di Libanon yang selain berpolitik menggalang suara untuk pemilu juga
ikut dalam usaha pengusiran tentara Israel.
[7] Terbukti
bahwa kepedulian ormas Islam di Indonesia lebih tinggi dalam membela penindasan
terhadap Muslim yang ada di luar negeri ketimbang dampak kemiskinan yang tak
bisa dielakan terjadi di Indonesia yang dialami oleh sebagian besar kaum Muslim
sendiri.
[8] Crusade=Perang
salib; asumsi yang sering kali dipakai oleh para fundamentalis Islam dalam
rangka membentuk opini mereka terhadap pengaruh AS di hampir seluruh bagian
Timur Tengah.
oke,,bagus,mksh ya,
BalasHapus