Selasa, 21 Mei 2013

HISTORIOGRAFI TRADISIONAL


HISTORIOGRAFI TRADISIONAL

Historiografi tradisional adalah tradisi penulisan sejarah yang berlaku pada masa setelah masyarakat Indonesia mengenal tulisan, baik pada Zaman Hindu-Budha maupun pada Zaman Islam. Ada pada abad 4 M sampai abad 16 M.
Berdasarkan lontara (aksara tradisional masyarakat Bugis-Makassar), Noorduyn memandang bahwa karya historiografi tradisioal dianggap sebagai corak penulisan yang dingin dan tidak diterima dalam kelompok karya kritis ilmiah. Karya-karya seperti babad, hikayat, tambo, silsilah atau karya sejenis sepintas tidak lulus sebagai karya sejarah dalam pengertian yang modern. Di situ ada kecenderungan umum adalah mencari keterangan kepada sesuatu yang berada di luar sejarah. Yang penting tidak terletak pada rangkaian peristiwa-peristiwa, tetapi pada kekuatan yang berada secara alamiah di luar sejarah, di mana ditonjolkan suasana religiomagis, dan bukan kritis ilmiah. Karya tersebut lebih menonjolkan nasib, kutukan, rahmat, bukan berhasil atau gagal.
Pemahaman terhadap karya historiografi tradisional itu ditentukan oleh penghayatan cultural dari pembaca sehingga tanpa pengahayatan tersebut, maka kredibilitas itu menjadi lebur, atau hampir lembur dengan objeknya. Para penulis karya historiografi tradisional memang tidak bertujuan untuk menyatakan benar tidaknya fakta dari sudut sejarah sebagaimana ia terjadi. Fakta yang terkandung dalam karya-karya itu bukan harus diterima tidaknya fakta tersebut sebagai gambaran sah masa lampau, melainkan suatu proses pemaknaan pada peristiwa. Oleh karena itu, historiografi tradisional sebagai sejarah lokal memuat campuran unsur-unsur mitologis, eskhatologis, kronologis, religi-magis dan kosmogonis.
Historiografi tradisional merupakan suatu karya yang tidak dapat dianggap sebagai sebagai karya yang tidak dapat dianggap sebagai karya yang sudah selesai. Jadi, sebagai sumber, historigrafi tradisional berkedudukan sebagai bahan atau sumber primer yang memerlukan penelaahan yang mendalam dan hati-hati karena historiografi tradisional cenderung mengaburkan 2 macam realitas, yaitu:
1. Realitas yang objektif terjadi (pengalaman yang aktual).
2. Realitas yang riil dalam diri (penghayatan cultural yang kolektif).
Historiografi tradisional dalam penelitian harus melalui tahap:
1. Kritik ekstern pada penelitian sejarah.
2. Kritik intern seperti yang dikerjakan dalam penelitian filologi.
3. Diperlukan kesadaran dan pengetahuan yang mendalam tentang latar belakang cultural masyarakat yang menghasilkan karya historiografi tradisional.
Kemudian perbandingan sumber-sumber ekstern dilakukan seperti Tiongkok (Cina), Belanda, atau tradisi lisan. Pengetahuan latar belakang kultural dapat membantu membersihkan fakta dari unsur legenda mitos dan dongeng. fakta dalam waktu tertentu dikelilingi oleh legenda, mitos, dan dongeng.
Ada kecenderungan bahwa historiografi tradisional menurut Raymond Wiliams bermuatan The Myth of Concern (mitos penguat) yang bertujuan utama untuk memelihara keseimbangan, atau kewajaran kosmos, dan berfungsi bagi kematapan nilai dan tata yang berlaku. Penguatan kekuatan magis penguasa, titisan dewa, legitimasi dengan penonjolan dalam penerimaan wahyu, wangsit, atau pulung, memberikan legitimasi bagi struktur yang mendukung tuntutan kultural. Struktur tersebut diwakili raja, bangsawan, atau kelas pemelihara, atau semua kalangan masyarakat, yang kemantapan kosmos terpelihara. Struktur kekuasaan dan sosial harus selalu ada bagi kepentingan kosmos yang teratur, mantap, dan dijauhkan dengan situasi chaos berarti kehancuran dan situasi yang tidak menentu.
Pada intinya, historiografi tradisional mencerminkan kenyataan riil yang dihayati dan patokan nilai yang dihayati (diberi makna, ditafsirkan berdasarkan The myth of concern). Kedua hal tersebut mempunyai beberapa kecenderungan yang sama dan tidak berhenti pada usaha penyalinan peristiwa, tetapi terlibat langsung dalamhal yang diceritakan karena peristiwa haruslah ada maknanya yaitu peristiwa dan konsepsi yang terjalin oleh pandangan dunia yang utuh.
Collingwood menyatakan bahwa semua sejarah adalah pikiran, sejarahwan tidak perlu jauh melibatkan diri bahwa manusia itu pada dasarnya sama. Apa yang dilihat aktor sejarah belum tentu sama dengan sejarawan. Dengan menyatakan situasi dari si aktor, sejarawan sadar dengan interpretasinya sendiri. Kritik terhadap the myth of concernI menyangsingkan kesahan yang mutlak. Kritik tersebut disebut juga counter-myth (mitos perlawanan). The myth of concern adalah mitos yang dimiliki oleh kelompok atau golongan yang sedang berkuasa dan menang dalam persaingan sejarah. Mereka menciptakan versi yang terbaik bagi kelompoknya. Sementara itu, counter myth adalah milik dari orang atau kelompok yang kalah dalam sejarah. Mereka adalah orang-orang yang tersingkir dan tidak layak berada di pentas sejarah. Orang-orang yang kalah adalah orang-orang yang harus dimatikan selamanya. Kalau mereka bisa bertahan dan melakukan perlawanan untuk mengubah kesan negatife yang sudah ditimbulkan oleh the myth of concern. Adapun ciri-ciri dari historiografi tradisonal adalah sebagai berikut:
1) Religio sentris, artinya segala sesuatu dipusatkan pada raja atau keluarga raja (keluarga istana), maka sering juga disebut istana sentris atau keluarga sentris atau dinasti sentris.
2) Bersifat feodalistis-aristokratis, artinya yang dibicarakan hanyalah kehidupan kaum bangsawan feodal, tidak ada sifat kerakyatannya. Historiografi tersebut tidak memuat riwayat kehidupan rakyat, tidak membicarakan segi-segi sosial dan ekonomi dari kehidupan rakyat.
3) Religio magis, artinya dihubungkan dengan kepercayaan dan hal-hal yang gaib.
4) Tidak begitu membedakan hal-hal yang khayal dan hal-hal yang nyata.
5) Tujuan penulisan sejarah tradisional untuk menghormati dan meninggikan kedudukan raja, dan nama raja, serta wibawa raja; agar supaya raja tetap dihormati, tetap dipatuhi, tetap dijunjung tinggi.
6) Bersifat regio-sentris (kedaerahan), maka historiografi tradisional banyak dipengaruhi daerah, misalnya oleh cerita-cerita gaib atau cerita-cerita dewa di daerah tersebut.
7)  Raja atau pemimpin dianggap mempunyai kekuatan gaib dan kharisma (bertuah, sakti).
8) Memiliki subjektifitas yang tinggi sebab penulis hanya mencatat peristiwa penting di kerajaan dan permintaan sang raja.
9) Bersifat melegitimasi (melegalkan/mensahkan) suatu kekuasaan sehingga seringkali anakronitis (tidak cocok)
10)  Kebanyakan karya-karya tersebut kuat dalam genealogi (silsilah) tetapi lemah dalam hal kronologi dan detil-detil biografis.
11) Pada umumnya tidak disusun secara ilmiah tetapi sering kali data-datanya bercampur dengan unsur mitos dan realitas (penuh dengan unsur mitos).
12) Sumber-sumber datanya sulit untuk ditelusuri kembali bahkan terkadang mustahil untuk dibuktikan.
13) Dipengaruhi oleh faktor budaya masyarakat dimana naskah tersebut ditulis sehingga merupakan hasil kebudayaan suatu masyarakat.
14)  Cenderung menampilkan unsur politik semata untuk menujukkan kejayaan dan kekuasaan sang raja.
Tradisi lisan penting bagi masyarakat yang belum atau sedikit mengenal kebudayaan tertulis karena dapat mengisi kekosongan data dari sumber-sumber lain, serta mengetahui sikap dan pengertian yang diberikan masyarakat bawah terhadap peristiwa tertentu.
Menurut Vansina, tradisi lisan adalah bayangan dari realitas. Tradisi lisan tidak identik dengan realitas atau peristiwa, tetapi kebiasaan peristiwa itu dimengerti oleh masyarakat. Yang bisa dimengerti adalah realitas baru. Realitas baru memberi patokan dalam melihat peristiwa atau situasi yang kemudian dan waktu yang diterapkan pada alam religiomagis memunculkan realitas baru. Realitas baru dapat berbentuk metaformosis personafikasi, yaitu suatu norma atau ide demi kelanjutan dapat berubah menjadi tokoh historis atau depersonafikasi sebagai perubahan bentuk dari peristiwa, nilai, dan tokoh sejarah menjadi legenda, kemudian dikelilingi oleh mitos, akhirnya menjadi lambing atau simbol dari ide atau nilai tertentu.
Metaformosis memang agak ekstrim, tapi yang muncul adalah realitas baru yang merupakan fakta sementara yang harus dihadapkan dengan fakta yang berasal dari sumber lain. Penjelasan terhadap fakta sementara itu harus memperhatikan untaian sebelum dan sesudah, mata rantai sebab-akibat, bergelimang dengan masalah-masalah struktural, mobilisasi penduduk, dan dinamika aspek-aspek yang mempengaruhi situasi.
Fenomena personafikasi adalah perubahan yang memunculkan tokoh sejarah dalam arti Historiografi tradisional. Penokohan itu dimaksudkan untuk melanggengkan suatu norma, ide, nilai, atau konsep kehidupan yang mungkin dianggap sebagai sesuatu yang berharga dalam hidup.
Depersonifikasi adalah gejala perubahan dari tokoh menjadi nilai-nilai. Di sini, sejarah dinilaikan berdasarkan perilaku dan dikap tokoh tertentu. Namun mendepersonifikasi seorang tokoh itu tidak mudah sehingga ada usaha untuk mempersonifikasikan kembali nilai-nilai dalam bentuk tokoh.