Selasa, 23 April 2013

Niccolò Machiavelli



Niccolò Machiavelli (lahir di Florence, Italia, 3 Mei 1469 – meninggal di Florence, Italia, 21 Juni 1527 pada umur 58 tahun) adalah diplomat dan politikus Italia yang juga seorang filsuf. Sebagai ahli teori, Machiavelli adalah figur utama dalam realitas teori politik, ia sangat disegani di Eropa pada masa Renaisans. Dua bukunya yang terkenal, Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio (Diskursus tentang Livio) dan Il Principe (Sang Pangeran), awalnya ditulis sebagai harapan untuk memperbaiki kondisi pemerintahan di Italia Utara, kemudian menjadi buku umum dalam berpolitik pada masa itu.
Nama Machiavelli, kemudian diasosiasikan dengan hal yang buruk, untuk menghalalkan cara untuk mencapai tujuan. Orang yang melakukan tindakan seperti ini disebut makiavelis.
Karya-karya Machiavelli tidak hanya di bidang politik, tetapi juga sejarah, yaitu; History of Florence, Discourse on the First Decade of Titus Livius, a Life of Castruccio Castrancani, dan History of the Affair of Lucca. Di bidang kesusasteraan, dia pernah menulis suatu tiruan dari the Golden Ass of Apuleius, the play Mandragola, serta Seven Books on the Art of War. Tentu saja di antara karya-karyanya yang paling banyak dikenal adalah The Prince (1932). Isu utama dalam buku ini adalah bahwa semua tujuan dapat diusahakan untuk membangun dan melestarikan kekuasaan sebagai tujuan akhir yang dapat dibenarkan. Dan seburuk-buruknya tindakan pengkhianatan adalah penguasa yang dijustifikasi oleh kejahatan dari yang diperintah. The Prince dinyatakan terlarang oleh Paus Clement VIII. Selengkapnya karya-karya Machiavelli dalam bahasa Italia meliputi; Discorso sopra le cose di Pisa (1499), Del modo di trattare i popoli della Valdichiana ribellati (1502), Del modo tenuto dal duca Valentino nell’ ammazzare Vitellozo Vitelli, Oliverotto da Fermo (1502), Discorso sopra la provisione del danaro (1502), Decennale primo (1506 poema in terza rima), Ritratti delle cose dell’Alemagna (1508-1512), Decennale secondo (1509), Ritratti delle cose di Francia (1510), Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio (1512-1517), Il Principle (1513), Andria (1517), Mandragola (1518), Della lingua (1514), Clizia (1525), Belfagor arcidiavolo (1515), asino d’oro (1517), Dell’arte della guerra (1519-1520), Discorso sopra il riformare lo stato di Firenze (1520), Sommario delle cose della citta di Lucca (1520), Vita di castruccio Castracani da Lucca (1520), Istorie fiorentine (1520-1525), dan Frammenti storici (1525).
Karya-karya Machiavelli mengakibatkan banyak pihak yang menempatkannya sebagai salah satu pemikir brilian pada masa renaissance, sekaligus figur yang sedikit tragis. Pemikiran Machiavelli berkembang luas pada abad ke-16 dan ke-17 sehingga namanya selalu diasosiasikan penuh liku-liku, kejam, serta dipenuhi keinginan rasional yang destruktif. Tidak ada pemikir yang selalu disalahpahami dari pada Machiavelli. Kesalahpahaman tersebut terutama bersumber pada karyanya yang berjudul The Prince yang memberikan metode untuk mendapatkan dan mengamankan kekuasaan politik. Selain itu, juga terdapat karya lain yang banyak menjadi rujukan yaitu Discourses on the Ten Books of Titus Livy.
Terdapat tiga pandangan berbeda terhadap Machiavelli dilihat dari karya-karyanya. Pandangan pertama, menyatakan bahwa Machiavelli adalah pengajar kejahatan atau paling tidak mengajarkan immoralism dan amoralism. Pandangan ini dikemukakan oleh Leo Strauss (1957) karena melihat ajaran Machiavelli menghindar dari nilai keadilan, kasih sayang, kearifan, serta cinta, dan lebih cenderung mengajarkan kekejaman, kekerasan, ketakutan, dan penindasan.
Pandangan kedua, merupakan aliran yang lebih moderat dipelopori oleh Benedetto Croce (1925) yang melihat Machiavelli sekadar seorang realis atau pragmatis yang melihat tidak digunakannya etika dalam politik. Padangan ketiga yang dipelopori oleh Ernst Cassirer (1946), yang memahami pemikiran Machiavelli sebagai sesuatu yang ilmiah dan cara berpikir seorang scientist. Dapat disebutkan sebagai “Galileo of politics” dalam membedakan antara fakta politik dan nilai moral (between the facts of political life and the values of moral judgment).
Inovasi Machiavelli dalam buku Discourses on Livy dan The Prince adalah memisahkan teori politik dari etika. Hal itu bertolakbelakang dengan tradisi barat yang mempelajari teori politik dan kebijakan sangat erat kaitannya dengan etika seperti pemikiran Aristoteles yang mendefinisikan politik sebagai perluasan dari etika. Dalam pandangan barat, politik kemudian dipahami dalam kerangka benar dan salah, adil dan tidak adil. Ukuran-ukuran moral digunakan untuk mengevaluasi tindakan manusia di lapangan politik. Saat itu, Machiavelli telah menggunakan istilah la stato, yang berasal dari istilah latin status, yang menunjuk pada ada dan berjalannya kekuasaan dalam arti yang memaksa, tidak menggunakan istilah dominium yang lebih menunjuk pada kekuasaan privat.
Buku-buku abad pertengahan memberikan kepercayaan bahwa penggunaan kekuasaan politik hanya dibenarkan jika dimiliki oleh orang-orang yang memiliki karakter memenuhi nilai-nilai luhur. Jika pemegang kekuasaan menginginkan kedamaian dan tetap menduduki jabatannya, harus bertindak sesuai dengan standar kebaikan dan etika. Mereka hanya akan dipatuhi sepanjang menunjukkan pemenuhan nilai-nilai moral.
Adalah Machiavelli yang pertama kali mendiskusikan fenomena sosial politik tanpa merujuk pada sumber-sumber etis ataupun hukum. Inilah pendekatan pertama yang bersifat murni scientific terhadap politik. Bagi Machiavelli, politik hanya berkaitan dengan satu hal semata, yaitu memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Hal lainnya, seperti agama dan moralitas, yang selama ini dikaitkan dengan politik sesungguhnya tidak memiliki hubungan mendasar dengan politik, kecuali bahwa agama dan moral tersebut membantu untuk mendapat dan mempertahankan politik. Keahlian yang dibutuhkan untuk mendapat dan melestarikan kekuasaan adalah perhitungan. Seorang politikus mengetahui dengan benar apa yang harus dilakukan atau apa yang harus dikatakan dalam setiap situasi.
Machiavelli mengakui bahwa hukum yang baik dan tentara yang baik merupakan dasar bagi suatu tatatan sistem politik yang baik. Namun karena paksaan dapat menciptakan legalitas, maka dia menitikberatkan perhatian pada paksaan. Karena tidak akan ada hukum yang baik tanpa senjata yang baik, maka Machiavelli hanya akan membicarakan masalah senjata. Dengan kata lain, hukum secara keseluruhan bersandar pada ancaman kekuatan yang memaksa. Otoritas merupakan hal yang tidak mungkin jika terlepas dari kekuasaan untuk memaksa. Oleh karena itu, Machiavelli menyimpulkan bahwa ketakutan selalu tepat digunakan, seperti halnya kekerasan yang secara efektif dapat mengontrol legalitas. Seseorang akan patuh hanya karena takut terhadap suatu konsekuensi, baik kehilangan kehidupan atau kepemilikan. Argumentasi Machiavelli dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa politik secara keseluruhan dapat didefinisikan sebagai supremasi kekuasaan memaksa. Otoritas adalah suatu hak untuk memerintah.
Dalam the Prince digambarkan cara-cara agar seorang individu dapat memperoleh dan mempertahankan kekuasaan negara. Situasi sosial dan politik dalam buku tersebut dilukiskan dalam kondisi yang sangat tidak dapat diprediksi dan mudah berubah. Hanya orang hebat dengan pikiran penuh perhitungan yang dapat menaklukkan kondisi sosial politik tersebut. Penolakan Machiavelli terhadap penghakiman etis dalam politik mengakibatkan pemikirannya disebut sebagai pemikiran renaisance yang anti-Christ.
Citra Machiavelli yang menentang kekuasaan gereja juga terlihat dalam buku the Discourse yang secara jelas menyatakan bahwa bahwa Kristianitas konvensional melemahkan manusia dari kekuatan yang diperlukan untuk menjadi masyarakat sipil yang aktif. Dalam the Prince juga terdapat penghinaan, disamping penghormatan, terhadap kondisi gereja dan kepausan pada saat itu. Pandangan-pandangan Machiavelli mengakibatkan beberapa penulis seperti Sullivan (1996) dan Anthony Parel (1992) berpendapat bahwa Machiavelli adalah penganut agama pagan seperti masyarakat Romawi kuno.
Untuk memahami pemikiran Machiavelli, negara tidak boleh dipikirkan dalam kaca mata etis, tetapi dengan kaca mata medis. Pada saat itu, Italia sedang menderita dan menyedihkan, sedangkan Florentine dalam bahaya besar. Untuk itu negara harus dibuat menjadi kuat bukan dengan pendekatan etis tetapi medis. Rakyat yang berkhianat harus diamputasi sebelum menginfeksi seluruh negara (seditious people should be amputated before they infect the whole state). Machiavelli melihat politik seperti kondisi medan perang yang harus ditaklukkan.
Nilai (virtú), dalam bahasa Machiavelli dipahami sebagai individu yang memiliki kemampuan untuk mewujudkan keinginannya dalam situasi sosial yang berubah melalui kehendak yang kuat, kekuatan, serta perhitungan dan strategi yang brilliant. Bahkan, untuk mendapatkan cinta seorang perempuan (Fortune), seorang raja yang idela tidak meminta atau memohon, tetapi mengambilnya secara fisik dan melakukan apapun yang dia mau. Skandal tersebut melambangkan potensi manusia yang sangat kuat di lapangan politik.
Virtú, dalam konsepsi Machiavelli adalah kualitas personal yang dibutuhkan oleh seorang raja untuk mengelola negaranya dan meningkatkan kekuasaannya. Raja harus memiliki kualitas virtú yang paling tinggi, bahkan jika dibutuhkan untuk dapat bertindak sangat jahat. Untuk dapat menjadi seseorang yang memiliki kualitas virtú, raja harus bersifat fleksibel (flexible disposition). Orang yang sesuai untuk memegang kekuasaan menurut Machiavelli adalah seseorang yang dapat melakukan berbagai tindakan dari yang baik hingga yang buruk. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan Virtú adalah segala hal yang terkait dengan kekuasaan. Penguasa Virtú dituntut untuk memiliki kompetensi menjalankan kekuasaan. Memiliki Virtú berarti memiliki kemampuan atas segala aturan yang terkait dengan menjalankan kekuasaan secara efektif. Virtú adalah kekuasaan politik.
Konsepsi lain yang menghubungkan antara Virtú dengan pelaksanaan kekuasaan yang efektif adalah Fortuna. Fortuna adalah musuh dari tatanan politik, merupakan ancaman bagi keselamatan dan keamanan negara. Penggunaan konsep fortuna ini menimbulkan banyak perdebatan. Secara konvensional, fortuna diartikan sebagai keramahan, sesuatu yang lunak dan tidak berbahaya, tetapi juga sifat ketuhanan yang berubah-ubah sebagai sumber dari kebaikan sekaligus keburukan manusia. Sedangkan Machiavelli mengartikan fortuna sebagai kedengkian dan sumber kesengsaraan manusia yang tidak dapat ditoleransi (uncomprommising fount of human misery), penderitaan, dan musibah. Jika fortuna menentukan kemajuan yang dicapai umat manusia, maka tidak ada seorangpun yang dapat bertindak secara efektif berhadapan dengan ketuhanan.
Dia menggambarkan fortuna menyerupai “satu dari sungai kita yang merusak, yang pada saat marah akan mengubah daratan menjadi danau, meruntuhkan pohon dan bangunan, mengambil dunia dari satu titik dan meletakkannya pada titik lain; semua orang melarikan diri sebelum banjir; semua orang marah dan tidak ada yang dapat menolak” (one of our destructive rivers which, when it is angry, turn the plains into lakes, throws down the trees and buildings, takes earth from one spot, puts it in another; everyone flees before the flood; everyone yields to its fury and nowhere can repel it). Kemarahan dan musibah tersebut tidak berarti berada di luar kekuasaan manusia. Sebelum hujan tiba, masih mungkin untuk melakukan sesuatu untuk mengalihkan atau mengubah konsekuensinya. Gambaran tersebut dikemukanan oleh Machiavelli untuk menyatakan bahwa fortuna dapat diatasi oleh manusia, namun harus dengan persiapan dengan Virtú dan kebijakan.
Kesuksesan politik bergantung kepada apresiasi berjalannya fortuna. Pengalaman Machiavelli mengajarkan bahwa adalah lebih baik bergerak cepat (impetuous) dari pada berhati-hati, karena fortuna adalah seorang perempuan dan diperlukan untuk menempatkannya di bawah kita, mengacaukan dan menganiayanya. Dengan kata lain, fortuna menuntut respon kekerasan dari mereka yang hendak mengontrolnya.
Jika buku the Prince banyak menimbulkan perdebatan, maka tidak demikian halnya dengan buku the Discourses on the Ten Books of Titus Livy yang oleh banyak ahli dipandang mewakili komitmen dan kepercayaan politik pribadi Machiavelli, khususnya terhadap republik. Dalam semua karyanya, secara konsisten Machiavelli membagi tatanan kehidupan sipil dan politik menjadi yang bersifat minimal dan yang penuh yang memengaruhi pencapaian kehidupan bersama.
Tatanan konstitusional yang minimal adalah di mana subyek hidup dengan aman (vivere sicuro), diatur oleh pemerintah yang kuat yang senantiasa mengawasi perkembangan bangsawan dan rakyatnya, namun diimbangi dengan mekanisme hukum dan institusional lainnya. Sedangkan tatanan konstitusional yang penuh, tujuan tatanan politik adalah untuk kebebasan masyarakat (vivere libero) yang diciptakan secara aktif oleh partisipasi dan interaksi antara kaum bangsawan dan rakyat.
Selama kariernya sebagai sekretaris dan diplomat pada Republik Florentine, Machiavelli mendapatkan pengalaman di lingkungan inti pemerintahan Perancis yang menurut pandangannya adalah model konstitusional minimal (the “secure” [but not free] polity). Machiavelli melihat kerajaan Perancis dan Rajanya memiliki dedikasi terhadap hukum. Dia menyatakan bahwa kerajaan Perancis merupakan kerajaan yang pada saat itu paling baik pengaturan hukumnya. Raja Perancis dan para bangsawan yang berkuasa dikontrol oleh aturan hukum yang dilaksanakan oleh otoritas independen dari parlemen. Oleh karena itu, kesempatan adanya tindakan tirani yang tak terkendali dapat dieliminasi.
Bagaimanapun bagusnya penataan dan kepatuhan hukum dalam rezim yang demikian, menurut pandangan Machiavelli tidak sesuai dengan vivere libero. Sepanjang terdapat kehendak publik untuk mendapatkan kebebasannya, raja yang tidak dapat memenuhinya harus meneliti apa yang dapat membuat mereka menjadi bebas. Dia menyimpulkan bahwa beberapa individu menginginkan kebebasan hanya untuk dapat memerintah yang lain. Sebaliknya, sebagian besar mayoritas rakyat mengalami kebingungan antara kebebasan dan keamanan, membayangkan bahwa keduanya adalah identik. Namun ada juga yang menginginkan kebebasan untuk tujuan hidup dengan aman (vivere sicuro).Machiavelli kemudian menyatakan bahwa rakyat hidup dengan aman (vivere sicuro) tanpa alasan lain dibanding dengan rajanya yang terikat hukum guna memberikan keamanan bagi seluruh rakyat. Karakter kepatuhan terhadap hukum dari rezim Perancis adalah untuk memastikan keamanan, namun keamanan tersebut jika diperlukan tidak boleh dicampurkan dengan kebebasan. Inilah batasan dari aturan dari monarkhi, bahkan untuk kerajaan yang paling baik, tidak akan dapat menjamin rakyatnya dapat diperintah dengan tenang dan tertib.

Ref:

Para Penjaga NKRI




























SARA, AGAMA , DAN KONFLIK SOSIAL


  1. SARA (Suku, Agama, dan Ras)
Sebelum kita masuk kedalam pokok pembahasan tentang konflik sosial, kita akan cari tahu apa yang dimaksud dengan SARA, karena SARA merupakan salah satu pemicu terjadinya konflik yang diakibatkan kesalah pahaman, perbedaan pendapat dan lain-lain.

SARA merupakan singkatan dari Suku, Agama dan Ras. Suku memliki arti yaitu suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan indentitas akan kesatuan kebudayaan, sedangkan kesadaran dan indentitas tadi sering kali (tetapi tidak selalu) dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga.
Agama, dalam pandangan Emile Durkheim merupakan sebagai satu sistem yang terintergrasi antara kepercayaan dan praktik suci. Keduanya mempersatukan individu yang memiliki keyakinan yang sama (seiman ) kedalam satu komunitas yang sering dikenal dengan umat beragama.

Ras meruapakan ciri-ciri fisik yang dimiliki oleh manusia karena setiap daerah di dunia memiliki cirri-ciri manusia yang berbeda. Sebagaimana yang di klasifikasi oleh A. L. Kroeber tentang ras-ras didunia, menurut dia klasifikasi ras di dunia  dibagi menjadi 5 yaitu Ras Austrolid, Ras Mongoloid, Ras kaukasoid, Ras Negroid, dan Ras-ras Khusus.

  1. Konflik Sosial
Para ahli teori konflik lebih lanjut berpendapat bahwa konflik terjadi diantara organisasi. Dengan kata lain, organisasi-organisasi berusaha menggunakan kekuatan mereka untuk meraup keuntungan sendiri. Gejala-gejala yang menyebabkan terjadinya konflik, yakni:
  1. Ketidaksefahaman (lagi) pada anggota kelompok tentang tujuan masyarakat yang semula menjadi pegangan kelompok.
  2. Norma-norma sosial tidak membantu anggota masyarakat lagi dalam mencapai tujuan yang telah disepakatinya.
  3. Norma-norma dalam kelompok dan yang dihayati oleh anggotanya bertentangan satu sama lain.
  4. Sanksi sudah menjadi lemah bahkan tidak lagi dilaksanakan dengan konsukuen.
  5. Tindakan anggota masyarakat sudah bertentagan dengan norma-norma kelompok.
Pada dasarnya masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk. Marilah pertama kali kita mengingat kembali beberapa karakteristik yang dapat kita kenali sebagai sifat dasar dari suatu masyarakat majemuk sebagaimana yang dikemukakan oleh Van Den Berghe, yakni:
  1. Terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang seringkali memiliki kebudayaan, atau lebih tepat subkebudayaan, yang berbeda satu sama lain.
  2. Memiliki struktur social yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non komplementer.
  3. Kurang mengembangkan konsensus di antara para anggota masyarakat tentang nilai-nilai sosial bersifat dasar.
  4. Secara relatif seringkali terjadi konflik di antara kelompok satu dengan kelompok yang lain.
  5. Secara relatif integrasi social tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan didalam ekonomi.
  6. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok lain.
  1. Tingkatan Konflik
1.      Konflik di dalam tingkatnya yang bersifat ideologis.
Pada tingkat ideologis, konflik-konflik tersebut dapat kita simak dalam bentuk perbedaan-perbedaan pengertian dasar diantara berbgai golongan masyarakat mengenai berbagai macam hal. Universalisme dan ajaran tentang keselamatan dari golongan santri dan relativisme dari golongan abangan di Jawa. Golongan menganggap agama islam sebagai agamanya orang Arab, dan oleh karena itu mereka tidak dengan sepenuh hati menghayatinya.
Golongan santri, sebalikya menuduh orang-orang abangan sebagai kaum musyrik yang menduakan tuhan. Pengetahuan kebatinan yang oleh orang-orang abangan diyakini sebagai pengetahuan Jawa asli, yang oleh karenanya seringkali disebut juga sebagai ngelmu kejawen, sesungguhnya adalah kepercayaan keagamaan yang berasal dari India yang bercampur dengan kepercayaan animisme.
Konflik ideologis memang lebih mudah disimak di dalam hubungannya dengan perbedaan-perbedaan agama.  Sementara itu konflik ideologis antara lapisan-lapisan social bukannya tidak ada. Lapisan elit yang biasa disebut juga priyayi, berpendidikan dan kebanyakan berasal dari atau tinggal di kota, pada umumnya memandang lapisan bawah atau wong cilik sebagai lapisan orang-orang yang kurang berpendidikan, bodoh, tradisional, dan tidak bergairah didalam mengikuti perubahan-perubahan. Lapisan wong cilik, sebaliknya, tidak jarang memandang lapisan elit sebagai lapisan orang-orang yang sudah tidak begitu hormat terhadap tradisi lama dan korup.
Konflik-konflik ideologis diantara berbagai golongan di dalam masyarakat Indonesia sebagaimana kita uraikan diatas, telah menjadi sebab bagi timbulnya kesulitan-kesulitan untuk mempertumbuhkan aturan permainan (rules of the game). Konflik di dalam tingkatnya yang bersifat indeologis, sesuai dengan pandangan Max Weber yang memiliki pandangan:
1.      Ide-ide agama bisa menjadi sumber konflik.
2.   Ide-ide agama dapat membantu melegitimasi posisi sosial dari kelompok yang dominan dalam masyarakat.
3.      Mengakui pentingnya konflik dalam bidang ekonomi, dan melihat bahwa perjuangan atau konflik juga terjadi dalam bidang distribusi prestise atau ststus dan kekuasaan politik.

Kita lihat seperti hal nya yang terjadi di Cikuesik Banten yang dimana terjadi penyerangan yang dilakukan sekelompok masyarakat yang membawa nama Islam untuk menyerang kelompok aliran ahmadiyah yang dianggap sebagai aliran agama sesat bagi agama Indonesia. Sehingga masyarakat tersebut menyerang kelompok aliran tersebut dengan membabi buta.
Kasus tersebut pas sekali dengan apa yang dikatakan oleh Max Weber tentang pandangan ia mengenai konflik dengan tingkatan ideologis.

2.         Konflik di dalam tingkatnya yang bersifat politik.
Ada beberapa indikasi yang bisa dipakai oleh para ahli ilmu-ilmu sosial untuk menilai intensitas daripada pertentangan-pertentangan politik di dalam suatu masyarakat. Charles Lewis Taylor dan Micheal C. Hudson, misalnya sangat membantu kita di dalam melihat betapa pertentangan-pertentangan politik itu terjadi didalam masyarakat Indonesia. Dengan beberapa indikator yang dimuat di dalam karya mereka itu, kita dapat menggambarkan intesitas konflik-konflik politik yang terjadi di dalam masyarakat Indonesia.
Ø   Indikator pertama
Apa yang mereka sebut dengan demonstrasi (a protest demonstration). Yang dimaksud dengan demonstrasi di sini adalah sejumlah orang yang dengan tidak menggunakan kekerasan mengorganisir diri untuk melakukan protes terhadap suatu rezim, pemerintah, atau pimpinan dari rezim atau pemerintahan tersebut atau terhadap suatu tindakan yang sedang direncanakan.
Ø  Indikator kedua
Kerusuhan suatu istilah yang barangkali tidak terlalu tepat untuk menggantikan istilah “riot” sebagaimana yang digunakan oleh Taylor dan Hudson. Kerusuhan, pada dasarnya adalah sama dengan demonstrasi. Ia hanya berbeda dari demonstrasi oleh karena kurusuhan mengandung penggunaan kekerasan fisik, yang biasanya diikuti dengan pengrusakan barang-barang, pemukulan atau pembunuhan oleh alat keamanan atas pelaku-pelaku kerusuhan, penggunaan alat-alat pengendalian kerusuhan oleh para petugas keamanan di satu pihak, dan penggunaan berbagai macam senjata atau alat pemukul oleh para pelaku kerusuhan di lain pihak. Contohnya seperti kerusuhan yang terjadi pada tahun 1998 yang dimana mahasiswa yang menuntut reformasi pada pemerintahan. Pada saat itu banyak terjadi pengrusakan gedung pertokaan dan lain-lain.
Ø   Indikator yang ketiga
Adalah apa yang disebut sebagai serangan bersenjata (armed attack), yakni suatu tindakan kekerasan yang dilakukan oleh atau kepentingan suatu kelompok tertentu dengan maksud melemahkan atau bahkan menghancurkan kekuasaan dari kelompok lain. Ia ditandai oleh terjadinya pertumpahan darah, pergulatan fisik, atau pengrusakan barang-barang.
Ø  Indikator keempat
Berhubungan dan merupakan akibat daripada armed attack, akan tetapi juga berhubungan dengan dan merupakan akibat dari kerusuhan dan untuk sebagian lagi berhubungan dengan dan merupakan akibat dari demonstrasi. Indikator yang dimaksud adalah jumlah kematian sebagai akibat kekerasan politik.
Salah satu perubahan politik yang paling penting yang dapat dipakai sebagai indikator daripada konflik-konflik politik adalah terjadinya perubahan-perubahan di dalam lembaga- lembaga eksekutif. Indikator ini dapat dibedakan ke dalam dua macam perubahan eksekutif, yakni pemindahan kekuasaan yang bersifat eksekutif yang bersifat regular (regular executive transfer) merupakan suatu pemindahan kekuasaan eksekutif pada tingkat nasional dari suatu pemimpinan atau kelompok penguasaa kepada pemimpin atau kelompok penguasa yang yang lain melalui cara-cara yang bersifat legal-konvensional atau melalui prosedur-prosedur yang sudah menjadi kebiasaan, tanpa disertai dengan tekanan kekerasan fisik yang nyata dan langsung.

Sedangkan pemindahan kekuasaan eksekutif yang bersifat ireguler (irregular power transfer) merupakan suatu peristiwa pemindahan kekuasaan eksekutif pada tingkat nasional dari suatu pemimpin atau kelompok penguasa kepada pemimpin atau kelompok penguasa  yang lain melalui cara-cara yang tidak legal-konvensional atau prosedur-prosedur yang tidak biasa.
D.    Cara-cara Pemecahan konflik
Usaha manusia untuk meredakan pertikaian atau konflik dalam mencapai kestabilan dinamakan “akomodasi”. Pihak-pihak yang berkonflik kemudian saling menyesuaikan diri pada keadaan tersebut dengan cara bekerja sama. Bentuk-bentuk akomodasi :
1.    Gencatan senjata, yaitu penangguhan permusuhan untuk jangka waktu tertentu, guna melakukan suatu pekerjaan tertentu yang tidak boleh diganggu. Misalnya : untuk melakukan perawatan bagi yang luka-luka, mengubur yang tewas, atau mengadakan perundingan perdamaian, merayakan hari suci keagamaan, dan lain-lain.
2.  Abitrasi, yaitu suatu perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak ketiga yang memberikan keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua belah pihak. Kejadian seperti ini terlihat setiap hari dan berulangkali di mana saja dalam masyarakat, bersifat spontan dan informal. Jika pihak ketiga tidak bisa dipilih maka pemerintah biasanya menunjuk pengadilan.
3.  Mediasi, yaitu penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak diberikan keputusan yang mengikat. Contoh : PBB membantu menyelesaikan perselisihan antara Indonesia dengan Belanda.
4.     Konsiliasi, yaitu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih sehingga tercapai persetujuan bersama. Misalnya : Panitia tetap penyelesaikan perburuhan yang dibentuk Departemen Tenaga Kerja. Bertugas menyelesaikan persoalan upah, jam kerja, kesejahteraan buruh, hari-hari libur, dan lain-lain.
5.  Stalemate, yaitu keadaan ketika kedua belah pihak yang bertentangan memiliki kekuatan yang seimbang, lalu berhenti pada suatu titik tidak saling menyerang. Keadaan ini terjadi karena kedua belah pihak tidak mungkin lagi untuk maju atau mundur. Sebagai contoh : adu senjata antara Amerika Serikat dan Uni Soviet pada masa Perang dingin.
6.      Adjudication (ajudikasi), yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan.

DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta.
Nasikun. 2007. Sistem sosial Indonesia. Jakarta : PT Raja Gravindo Persada.
Razak, Yusron. 2010. Sosiologi sebuah pengantar. Jakarta : Laboraturium Sosiologi Agama.
Susanto, S. Astrid. 1983. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Jakarta : Binacipta (Anggota IKAPI).
http://id.wikipedia.org/wiki/Penyelesaian_konflik.

“Massa Desintrasi Peradaban Islam (1000-1250 M )”


A.    MASA DISINTEGRASI (1000M -1250M )
Dinasti-dinasti yang memerdekakan diri dari Baghdad

Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaanperadaban dan kebudayaan Islam dari pada persoalanpolitik itu, propinsi-propinsi tertentu di pinggiranmulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas, dengan berbagai cara di antaranya pemberontakan yang dilakukanoleh pemimpin lokal dan mereka berhasil memperolehkemerdekaan penuh.Disintegrasi dalam bidang politik sebenarnya sudah mulaiterjadi di akhir zaman Bani Umayyah. Akan tetapiberbicara tentang politik Islam dalam lintasan sejarah,akan terlihat perbedaan antara pemerintahan Bani Umayyahdengan pemerintahan Bani Abbas. Wilayah kekuasaan BaniUmayyah, mulai dari awal berdirinya sampai masakeruntuhannya, sejajar dengan batas-batas wilayahkekuasaan Islam. Hal ini tidak seluruhnya benar untukditerapkan pada pemerintahan Bani Abbas. Kekuasaandinasti ini tidak pernah diakui di Spanyol dan seluruhAfrika Utara, kecuali Mesir yang bersifat sebentar-sebentar dan kebanyakan bersifat nominal. Bahkan dalamkenyataannya, banyak daerah tidak dikuasai khalifah.

Secara riil, daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaangubernur-gubernur propinsi bersangkutan. Hubungannyadengan khilafah ditandai dengan pembayaran upeti.Ada kemungkinan bahwa para khalifah Abbasiyah sudah cukuppuas dengan pengakuan nominal dari propinsi-propinsitertentu, dengan pembayaran upeti itu. Alasannya, pertamamungkin para khalifah tidak cukup kuat untuk membuatmereka tunduk kepadanya, kedua, penguasa Bani Abbas lebihmenitikberatkan pembinaan peradaban dan kebudayaandaripada politik dan ekspansi.Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaanperadaban dan kebudayaan Islam daripada persoalan politikitu, propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepasdari genggaman penguasa Bani Abbas. Ini bisa terjadidalam salah satu dari dua cara: Pertama, seorang pemimpinlokal memimpin suatu pemberontakan dan berhasilmemperoleh kemerdekaan penuh, seperti Daulah Umayyah diSpanyol dan Idrisiyyah di Marokko. Kedua, seseorang yangditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah, kedudukannyasemakin bertambah kuat, seperti Daulah Aghlabiyah diTunisia dan Thahiriyyah di Khurasan.Kecuali Bani Umayyah di Spanyol dan Idrisiyyah diMarokko, propinsi-propinsi itu pada mulanya tetap patuhmembayar upeti selama mereka menyaksikan Baghdad stabildan khalifah mampu mengatasi pergolakan-pergolakan yangmuncul. Namun pada saat wibawa khalifah sudah memudarmereka melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad. Merekabukan saja menggerogoti kekuasaan khalifah, tetapibeberapa di antaranya bahkan berusaha menguasai khaljfahitu sendiri.Menurut Watt, sebenarnya keruntuhan kekuasaan Bani Abbasmulai terlihat sejak awal abad kesembilan. Fenomena inimungkin bersamaan dengan datangnya pemimpin-pemimpin yangmemiliki kekuatan militer di propinsi-propinsi tertentuyang membuat mereka benar-benar independen.

Kekuatan militer Abbasiyah waktu itu mulai mengalami kemunduran.Sebagai gantinya, para penguasa Abbasiyah mempekerjakanorang-orang profesional di bidang kemiliteran, khususnyatentara Turki dengan sistem perbudakan baru sepertidiuraikan di atas. Pengangkatan anggota militer Turkiini, dalam perkembangan selanjutnya teryata menjadiancaman besar terhadap kekuasaan khalifah. Apalagi padaperiode pertama pemerintahan Dinasti Abbasiyah, sudahmuncul fanatisme kebangsaan berupa gerakan syu'u arabiyah (kebangsaan/anti Arab).Gerakan inilah yang banyakmemberikan inspirasi terhadap gerakan politik, di sampingpersoalan-persoalan keagamaan. Nampaknya, para khalifahtidak sadar akan bahaya politik dari fanatisme kebangsaandan aliran keagamaan itu, sehingga meskipun dirasakandalam hampir semua segi kehidupan, seperti dalamkesusastraan dan karya-karya ilmiah, mereka tidakbersungguh-sungguh menghapuskan fanatisme tersebut,bahkan ada di antara mereka yang justru melibatkan diridalam konflik kebangsaan dan keagamaan itu.Dinasti-dinasti yang lahir dan melepaskan diri darikekuasaan Baghdad pada masa khilafah Abbasiyah, diantaranya adalah:

1. Yang berbangsa Persia:
     a. Thahiriyyah di Khurasan (205-259 H/ 820-872 M).
     b. Shafariyah di Fars (254-290 H/ 868-901 M).
     c. Samaniyah di Transoxania (261-389 H/ 873-998 M).
     d. Sajiyyah di Azerbaijan (266-318 H/ 878-930 M).
     e. Buwaihiyyah bahkan menguasai Baghdad (320-447 H/ 932-1055 M).

2. Yang berbangsa Turki:
     a. Thuluniyah di Mesir (254-292 H/ 837-903 M).
     b. Ikhsyidiyah di Turkistan (320-560 H/ 932-1163 M).
     c. Ghaznawiyah di Afghanistan (351-585 H/ 962-1189 M).
     d. Dinasti Seljuk dan cabang-cabangnya
       Seljuk besar, atau seljuk Agung, didirikan oleh Ruknal-Din Abu Thalib Tuqhrul Bek ibn Mikail ibn Seljuk ibn Tuqaq.
·         Seljuk ini menguasai Baghdad danmemerintah selama sekitar 93 tahun (429-522H/ 1037-1127 M).
·         Seljuk Kinnan di Kirman (433-583 H/ 1040-1187 M).
·         Seljuk Syria atau Syam di Syria (487-511 H/ 1094-1117M).
·         Seljuk Irak di Irak dan Kurdistan (511-590 H/ 1117-1194 M).
·         Seljuk Rum atau Asia kecil di Asia Kecil (470-700 H/ 1070-1299 M).
3. Yang berbangsa Kurdi:
a. al-Barzuqani (348-406 H/ 959-1015 M).
b. Abu ‘Ali, (380-489 H/ 990-1095 M).
c. Ayyubiyah (564-648 H/ 1167-1250 M)

4. Yang berbangsa Arab:
a. Idrisiyyah di Maroko (172-375 H/ 788-985 M).
b. Aghlabiyyah di Tunisia (184-289 H/ 800-900 M).
c. Dulafiyah di Kurdistan (210-285 H/ 825-898 M).
d. ‘Alawiyah di Tabaristan (250-316 H/ 864-928 M).
e. Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil,(317-394 H/ 929-1002 M).
f. Mazyadiyyah di Hillah (403-545 H/ 1011-1150 M).
g. Ukailiyyah di Maushil (386-489 H/ 996-1 095 M).
h. Mirdasiyyah di Aleppo (414-472 H/ 1023-1079 M).

5. Yang mengaku dirinya sebagai khilafah:
a. Umawiyah di Spanyol
b. Fathimiyah di Mesir.

Dari latar belakang dinasti-dinasti itu, nampak jelasadanya persaingan antarbangsa, terutama antara Arab,Persia dan Turki. Di samping latar belakang kebangsaan,dinasti-dinasti itu juga dilatarbelakangi paham keagamaan, ada yang berlatar belakang Syi'ah ada yang sunni.

Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada periode ini, sehingga banyak daerah memerdekakan diri, adalah:
·         Luasnya wilayah kekuasaan daulat Abbasiyah sementarakomunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan.Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalanganpara penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
·         Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata,ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi
·         Keuangan negara sangat sulit karena biaya yangdikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Padasaat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggupmemaksa pengiriman pajak ke Baghdad
DINASTI-DINASTI KECIL DI BARAT BAGHDAD
·         Dinasti Fatimiah merupakan sebuah dinasti yang didirikan di benua Afrika pada penghujung tahun 200 an Hijriah atau sekitar tahun 910 Masehi, dinasti ini berpahaman syiah, dari permulaan pembentukannya dinasti ini bertujuan untuk menjalankan ideologi syiah dan ingin melepaskan diri dari kekuasaan Daulah Abbasiah di Baghdad yang berideologi Sunnah.
·         Kondisi politik dunia Islam ketika Dinasti Fatimiah didirikan agak sedikit tidak terkendali, hal ini bisa di lihat dengan munculnya banyak dinasti-dinasti kecil di berbagai belahan dunia baik di timur dan barat Baghdad.
·         Di barat Baghdad ada, Dinasti Idrisi di Maroko (172-375 H / 788 M-985 M), Dinasti Aghlabi (184 H-296 H / 800 M-908 M), Dinasti Thulun di Mesir (254 H-292 H / 868 M-967 M), Dinasti Ikhsyidi (323 H- 357 H / 934 M-967 M), Dinasti Hamdaniah (317 H – 399 H / 929 M – 1009 M).
·         Di timur Baghdad diantaranya: Dinasti Tahiri (200 H-259 H / 820 M-872 M), Dinasti Safari (254 H-289 H / 867 M-903 M), Dinasti Samani (261 H-389 H / 874 M-999 M), dan Dinasti Ghazwani.
·         A. Dinasti di Barat Baghdad.
·         a. Dinasti Idrisi di Maroko (172 H-375 H / 788 M-985 M)
·         Kerajaan ini didirikan oleh Indris bin Abdullah, cucu Hasan putra Ali. Dia adalah salah seorang tokoh bani Alawiyyin (nisyah Ali bin Abu Thalib). Pada tahun 172 H/788 M, Idris dilantik sebagai imam, dan terbentuklah kerajaan Idrisi dengan ibu kota Walila. Namun masa pemerintahannya hanya bertahan selama 5 tahun.
·         Selanjutnya Idris bin Idris bin Abdullah (Idris II) menggantikan ayahnya sebagai pemerintah (177 H/793 M). Dengan pusat pemerintahannya dipindahkan ke Fes sebagai Ibu kota yang baru pada tahun 192 H.
·         Ketika Idris II wafat, Pemerintahannya diganti oleh Muhammad Al-Muntashir (213 H / 828 M). Pada masa ini, kerajaan Idrisi berpecah-pecah. Akibatnya kerajaan menjadi lemah, terutama selepas Muhammad Al-Muntashir meninggal, pemerintahannya semakin rapuh.
·         Kerajaan indrisi adalah kerajaan Syiah pertama dalam sejarah. Zaman kerajaan Indrisi (172-314 H/789-926 M) adalah suatu jangka waktu yang cukup lama dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan yang lain. Dalam aspek dakwahnya, Idrisi yang membawa Islam dan mampu meyakinkan penduduk Marocco dan sekitarnya.
·         b. Dinasti Aghlabi (184 H-296 H / 800 M-908 M).
·         Dinasti ini didirikan oleh Ibrahim bin Aghlab. Beliau adalah anak pegawai Khurasan, tentara bani Abbasiyah. Pada tahun 179 H/795 M, Ibrahim mendapatkan hadiah di daerah Tunisia dari Khalifah Harun Ar-Rasyid sebagai imbalan kepada jasa-jasanya dan kepatuhannya membayar cukai tahunan.
·         Pada zaman kepeimpinananya Ibrahim berjaya mengadakan perjanjian damai dengan kerajaan Idrisi, menjadikan kota Qairuwan sebagai ibu kota pemerintahan serta membangun Al-Qadim. Ibrahim berjaya memadamkan pertikaian antara Kharijiyah dan barbar.
·         Dinasti Bani Aghalab di perintah oleh 11 khalifah, antara lain:
·         1. Ibrahim (179 H/795 M)
·         2. Abdullah I (197 H/812 M)
·         3. Ziyaadatullah (210 H/817 M)
·         4. Abu Ilqal Al-Aghlab (223 H/838 M)
·         5. Muhammad I (226 H/841 M)
·         6. Ahmad (242 H/856 M)
·         7. Ziyaadatullah II (248 H/863 M)
·         8. Abu Al-gharaniq Muhammad II (250 H/863 M)
·         9. Ibrahim II (261 H/875 M)
·         10. Abdullah II (289 H/902 M)
·         11. Ziyaadatullah III (290-296 H/903-909 M)
·         c. Dinasti Thulun di Mesir (254 H-292 H / 868 M-967 M)
·         Kerajaan Tuluni mewakili kerajaan pertama Mesir di Syiah yang memperoleh anatomi dari Baghdat. Ahmad bin Tulun, seorang prajurit Turki. Oleh karena itu, Ahmad bin Tulun, di besarkan dalam lingkungan tentara yang tegas dan disiplin.
·         Pada tahun 254 H/868 M, Ibn Tulun dihantar ke Mesir sebagai wakil pemerintahan. Semasa Baghdad mengalami krisis, Ibn Tulun memanfaatkan situasi ini dan kemudian melepaskan Baghdad.
·         Dalam membangun negeri, beliau menciptakan stabilitas keamanan dalam negeri. Selepas itu ia memperhatikan juga, di bidang ekonomi. Dalam bidang keamanan, ia membangun angkatan perang, dengan kekuatan tentaranya, memperluas wilayahnya hingga ke Syam.
·         Selepas Ibn Tulun (279 H/884 M), kepemimpinan diteruskan oleh Khumarawaih (270 H/884 M), Jaisy (282 H /896 M), Harun (283 H/896 M) dan Syaiban (292 H/905 M)
·         d. Dinasti Ikhsyidi (323 H- 357 H / 934 M-967 M)
·         Pada tahun 232 H/935 M, panglima Turki bernama Muhammad bin Tughj dilantik sebagai pemerintah di Mesir. Khalifah Ababsiah memberinya gelar Ikhsidi sebagai mengikhtiraf kedudukan yang kuat.
·         Strategi yang pertama ikhsidi adalah mengkokohkan angkatan perang. Beliau diberi tanggung jawab mentadbir wilayah Syam. Ikhsidi meninggal dunia pada tahun 936 M.
·         Pemerintahannya di tumbangkan oleh Jauhar Siqli dari kerajaan Fatimiah. Pada tahun 358 H/969 M, kerajaan Ikhsidi berakhir .
·         Sejarah sumbangan kerajaan ini , ilmu pengetahuan dan budaya, lahirlah ilmuan seperti abu Ishaq al-Mawazi, Hasan ibn Rasyid al-Mishrivdll. Ikhsidi juga mewariskan bangunan megah seperti Istana al-Mukhtar di Raudah dan Taman Bustan al-Kafuri dll.
·         e. Dinasti Hamdaniah (317 H – 399 H / 929 M – 1009 M)
·         Ketika kerajaan Ikhsidi berkuasa di Utara Mesir, muncul kerajaan lain yaitu kerajaan Hamdani yang berpaham Syiah. Nama kerajaan berasal dari nama pendirinya yaitu, Hamdan ibn Hamdun, yang berasal dari suku arab Taghlib.
·         Kerajaan ini terbagi menjadi dua pihak, Mosul dan Aleppo. Pihak mosul dengan para pemerintahannya :
·         1. Abu al-Hayja Abdullah (293 H/905 M)
·         2. Nashir al-Daulah al-Hasan (17 H/929 M)
·         3. Uddad al-daulah Abu taghlib (358 H/ 969 M)
·         4. Ibrahim dan Al-Husein (379-389 H/981-991 M)
·         Pihak alleppo dengan pemerintahannya sepert :
·         1. Saif al-daulah Ali (33 H/945)
·         2. Sa’d al-daulah syarif I (356 H/967 M)
·         3. Sa’id al-daulah sa’id (381 H/991 M)
·         4. Ali II (392 H /1002 M)
·         5. Syarif II (394 H/1004 M)
·         Selepas tahun 356 H dan 358 H, kerajaan Hamdani merosot dari tangan-tangan penggantinya. Pada umumnya mereka saling berebut kekuasaan antara keluarga sendiri. Akibatnya mereka jatuh ketangan Kerajaan Fatamiah.
·         Kerajaan Hamdani terkenal sebagai pelindung sastera arab terutama Saif al-Daulah. Beberapa tokoh ternama seperti al-Farabi, Al-Isfahani dan Abu al-Firus. Kerajaan Hamdani adalah benteng kekuatan dari pada serangan Rom ke wilayah kekuasaan islam

 B Masa Disintegrasi  Perebutan Kekuasaaan di Pusat pemerintahan

Faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbasmenurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan,dengan membiarkan jabatan tetap dipegang Bani Abbas, karena khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaanyang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi, sedangkankekusaan dapat didirikan di pusat maupun daerah yang jauhdari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinastikecil yang merdeka.Faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbasmenurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan.Hal ini sebenarnya juga terjadi pada pemerintahan-pemerintahan Islam sebelumnya. Tetapi apa yang terjadipada pemerintahan Abbasiyah berbeda dengan yang terjadisebelumnya.Nabi Muhammad SAW memang tidak menentukan bagaimana carapergantian pimpinan setelah ditinggalkannya. Beliaunampaknya, menyerahkan masalah ini kepada kaum musliminsejalan dengan jiwa kerakyatan yang berkembang dikalangan masyarakat Arab dan ajaran syura dalam Islam.Dalam perkembangan selanjutnya, proses suksesikepemimpinan politik dalam sejarah Islam berbeda-beda
dari satu masa ke masa yang lain. Ada yang berlangsungaman dan damai, tetapi sering juga melalui konflik danpertumpahan darah akibat ambisi tak terkendali daripihak-pihak tertentu. Setelah Nabi wafat, terjadipertentangan pendapat antara kaum Muhajirin dan Anshar dibalai kota Bani Sa'idah di Madinah. Masing-masinggolongan berpendapat bahwa kepemimpinan harus berada dipihak mereka, atau setidak-tidaknya masing-masinggolongan mempunyai pemimpin sendiri. Akan tetapi, karenapemahaman keagamaan mereka yang baik dan semangatmusyawarah dan ukhuwah yang tinggi perbedaan itu dapatdiselesaikan, Abu Bakar terpilih menjadi khalifah.Pertumpahan darah pertama dalam Islam karena perebutankekuasaan terjadi pada masa kekhalifahan ‘Ali bin AbiThalib. Pertama-tama Ali menghadapi perlawanan Thalhah,Zubair, dan Aisyah. Alasan perlawanan itu adalah ‘Alitidak mau menghukum para pembunuh ‘Utsman, dan merekamenuntut bela terhadap darah ‘Utsman yang ditumpahkansecara zalim.Hal yang sama juga terjadi pada masa pemerintahan BaniUmayyah di Damaskus. Pemberontakan-pemberontakan seringterjadi, di antaranya pemberontakan Husain ibn Ali,Syi'ah yang dipimpin oleh al-Mukhtar, ‘Abdullah ibnZubair, dan terakhir pemberontakan Bani Abbas yang untukpertama kalinya menggunakan nama gerakan Bani Hasyim.Pemberontakan terakhir ini berhasil dan kemudianmendirikan pemerintahan baru yang diberi nama KhilafahAbbasiyah atau bani Abbas.Pada masa pemerintahan Bani Abbas, perebutan kekuasaanseperti itu juga terjadi, terutama di awal berdirinya.Akan tetapi, pada masa-masa berikutnya, seperti terlihatpada periode kedua dan seterusnya, meskipun khalifahtidak berdaya, tidak ada usaha untuk merebut jabatankhilafah dari tangan Bani Abbas. Yang ada hanyalah usahamerebut kekuasaannya dengan membiarkan jabatan khalifahtetap dipegang Bani Abbas. Hal ini terjadi karena
 
khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yangsakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi. Sedangkankekuasaan dapat didirikan di pusat maupun di daerah yangjauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinastikecil yang merdeka. Tentara Turki berhasil merebutkekuasaan tersebut. Di tangan mereka khalifah bagaikanboneka yang tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan merekalahyang memilih dan menjatuhkan khalifah sesuai dengankeinginan politik mereka.Setelah kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki padaperiode kedua, pada periode ketiga (334-447 H/ l055 M),Daulah Abbasiyah berada di bawah kekuasaan Bani Buwaih.Kehadiran Bani Buwaih berawal dari tiga orang putera AbuSyuja' Buwaih, pencari ikan yang tinggal di daerahDailam, yaitu Ali, Hasan dan Ahmad. Untuk keluar daritekanan kemiskinan, tiga bersaudara ini memasuki dinasmiliter yang ketika itu dipandang banyak mendatangkan rezeki. Pada mulanya mereka bergabung dengan pasukanMakan ibn Kali, salah seorang panglima perang daerahDailam. Setelah pamor Makan ibn Kali memudar, merekakemudian bergabung dengan panglima Mardawij ibn Zayyaral-Dailamy. Karena prestasi mereka, Mardawij mengangkat‘Ali menjadi gubernur al-Karaj, dan dua saudaranya diberikedudukan penting lainnya. Dari al- Karaj itulah ekspansikekuasaan Bani Buwaih bermula. Pertama-tama ‘Ali berhasilmenaklukkan daerah-daerah di Persia dan menjadikan Syirazsebagai pusat pemerintahan. Ketika Mardawij meninggal,Bani Buwaih yang bermarkas di Syiraz itu berhasilmenaklukkan beberapa daerah di Persia seperti Ray,Isfahan, dan daerah-daerah Jabal. ‘Ali berusaha mendapatlegalisasi dari Khalifah Abbasiyah, al-Radhi Billah danmengirimkan sejumlah uang untuk perbendaharaan negara. Iaberhasil mendapatkan legalitas itu. Kemudian ia melakukanekspansi ke Irak, Ahwaz, dan Wasith.Dari sini tentara Buwaih menuju Baghdad untuk merebutkekuasaan di pusat pemerintahan. Ketika itu, Baghdad sedang dilanda kekisruhan politik, akibat perebutanjabatan Amir al-Umara antara wazir dan pemimpin militer.Para pemimpin militer meminta bantuan kepada Ahmad ibnBuwaih yang berkedudukan di Ahwaz. Permintaan itudikabulkan. Ahmad dan pasukannya tiba di Baghdad padatanggal Jumadil-Ula 334 H/ 945 M. Ia disambut baik olehkhalifah dan langsung diangkat menjadi Amirul-Umara,penguasa politik negara, dengan gelar Mu'izz al-Daulah.Saudaranya, ‘Ali yang memerintah di bagian selatan Persiadengan pusatnya di Syiraz diberikan gelar Imad al-Daulah,dan Hasan yang memerintah di bagian utara, Isfahan danRay, dianugerahi gelar Rukn al-Daulah. Sejak itu,sebagaimana terhadap para pemimpin militer Turkisebelumnya, para khalifah tunduk kepada Bani Buwaih. Padamasa pemerintahan Bani Buwaih ini, para khalifahAbbasiyah benar-benar tinggal namanya saja. Pelaksanaan pemerintahan sepenuhnya berada di tangan amir-amir BaniBuwaih. Keadaan khalifah lebih buruk daripada masasebelumnya, terutama karena Bani Buwaih adalah penganutaliran Syi'ah, sementara Bani Abbas adalah Sunni. Selamamasa kekuasaan Bani Buwaih sering terjadi kerusuhanantara kelompok Ahlussunnah dan Syi'ah, pemberontakantentara dan sebagainya.Setelah Baghdad dikuasai, Bani Buwaih memindahkan markaskekuasaan dari Syiraz ke Baghdad. Mereka membangun gedungtersendiri di tengah kota dengan nama Daral Mamlakah.Meskipun demikian, kendali politik yang sebenarnya masihberada di Syiraz, tempat ‘Ali ibn Buwaih (saudara tertua)bertahta. Dengan kekuatan militer Bani Buwaih, beberapadinasti kecil yang sebelumnya memerdekakan diri dariBaghdad, seperti Bani Hamdan di wilayah Syria dan Irak,Dinasti Samaniyah, dan Ikhsyidiyah, dapat dikendalikankembali dari Baghdad. Sebagaimana para khalifah Abbasiyahperiode pertama, para penguasa Bani Buwaih mencurahkanperhatian secara langsung dan sungguh-sungguh terhadappengembangan ilmu pengetahuan dan kesusastraan. Pada masaBani Buwaih ini banyak bermunculan ilmuwan besar, diantaranya al-Farabi (w. 950 M), Ibn Sina (980-1037 M),
al-Farghani, Abdurrahman al-Shufi (w. 986 M), IbnMaskawaih (w. 1030 M), Abu al-'Ala al-Ma'arri (973-1057M), dan kelompok Ikhwan al-Shafa. Jasa Bani Buwaih jugaterlihat dalam pembangunan kanal-kanal, masjid-masjid,beberapa rumah sakit, dan sejumlah bangunan umum lainnya.Kemajuan tersebut diimbangi dengan laju perkembanganekonomi, pertanian, perdagangan, dan industri, terutamapermadani.Kekuatan politik Bani Buwaih tidak lama bertahan. Setelahgenerasi pertama tiga bersaudara tersebut, kekuasaanmenjadi ajang pertikaian di antara anak-anak mereka.Masing-masing merasa paling berhak atas kekuasaan pusat.Misalnya, pertikaian antara 'Izz al-Daulah Bakhtiar,putra Mu'izz al-Daulah dan 'Adhad al-Daulah, putera Imadal-Daulah dalam perebutan jabatan amir al-umara.Perebutan kekuasaan di kalangan keturunan Bani Buwaih inimerupakan salah satu faktor internal yang membawakemunduran dan kehancuran pemerintahan mereka. Faktorinternal lainnya adalah pertentangan dalam tubuh militer,antara golongan yang berasal dari Dailam dengan keturunanTurki. Ketika Amir al-Umara dijabat oleh Mu'izz al-Daulahpersoalan itu dapat diatasi, tetapi manakala jabatan itudiduduki oleh orang-orang yang lemah, masalah tersebutmuncul ke permukaan, mengganggu stabilitas danmenjatuhkan wibawa pemerintah.Sejalan dengan makin melemahnya kekuatan politik BaniBuwaih, makin banyak pula gangguan dari luar yang membawakepada kemunduran dan kehancuran dinasti ini. Faktor-faktor eksternal tersebut di antaranya adalah semakingencarnya serangan-serangan Bizantium ke dunia Islam, dan semakin banyaknya dinasti-dinasti kecil yang membebaskandiri dari kekuasaan pusat di Baghdad. Dinasti-dinasti ituantara lain dinasti Fathimiyah yang memproklamasikandirinya sebagai pemegang jabatan khalifah di Mesir,Ikhsyidiyah di Mesir dan Syria, Hamdan di Aleppo danlembah Furat, Ghaznawi di Ghazna dekat kabul, dan Dinasti

Seljuk yang berhasil merebut kekuasaan dari tangan BaniBuwaih.Jatuhnya kekuasaan Bani Buwaih ke tangan Seljuk bermuladari perebutan kekuasaan di dalam negeri. Ketika al-Malikal-Rahim memegang jabatan Amir al-Umara, kekuasaan itudirampas oleh panglimanya sendiri Arselan al-Basasiri.Dengan kekuasaan yang ada di tangannya, al-Basasiriberbuat sewenang-wenang terhadapal al-Malikal Rahim danKhalifah al-Qaim dari Bani Abbas; bahkan dia mengundangKhalifah Fathimiyah (al-Mustanshir), untuk menguasaiBaghdad. Hal ini mendorong khalifah meminta bantuankepada Tughril Bek dari Dinasti Seljuk yang berpangkalandi negeri Jabal. Pada tanggal 18 Desember 1055 M/ 447 Hpimpinan Seljuk itu memasuki Baghdad. Al-Malik al-Rahim,Amir al-Umara Bani Buwaih yang terakhir, dipenjarakan.Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Bani Buwaih danbermulalah kekuasaan Dinasti Seljuk. Pergantian kekuasaanini juga menandakan awal periode keempat KhilafahAbbasiyah. Dinasti Seljuk berasal dari beberapa kabilahkecil rumpun suku Ghuz di wilayah Turkistan. Pada abadkedua, ketiga, dan keempat Hijrah mereka pergi ke arahbarat menuju Transoxiana dan Khurasan. Ketika itu merekabelum bersatu. Mereka dipersatukan oleh Seljuk ibn Tuqaq.Karena itu, mereka disebut orang-orang Seljuk. Padamulanya Seljuk ibn Tuqaq mengabdi kepada Bequ, rajadaerah Turkoman yang meliputi wilayah sekitar Laut Arabdan Laut Kaspia. Seljuk diangkat sebagai pemimpintentara. Pengaruh Seljuk sangat besar sehingga Raja Bequkhawatir kedudukannya terancam. Raja bermaksudmenyingkirkan Seljuk.Namun sebelum rencana itu terlaksana, Seljukmengetahuinya. Ia tidak mengambil sikap melawan ataumemberontak, tetapi bersama pengikutnya ia bermigrasi kedaerah land, atau disebut juga Wama Wara'a al-Nahar  ,sebuah daerah muslim di wilayah Transoxiana (antarasungai Ummu Driya dan Syrdarya atau Sihun). Merekamendiami daerah ini atas izin penguasa Dinasti Samaniyah
 
yang menguasai daerah tersebut. Mereka masuk Islam denganmadzhab Sunni. Ketika Dinasti Samaniyah dikalahkan olehdinasti Ghaznawiyah, Seljuk menyatakan memerdekakan diri.Ia berhasil menguasai wilayah yang sebelumnya dikuasaioleh Dinasti Samaniyah. Setelah Seljuk meninggal,kepemimpinan dilanjutkan oleh anaknya, Israil. Namun,Israil dan kemudian penggantinya Mikail, saudaranya dapatditangkap oleh penguasa Ghaznawiyah. Kepemimpinanselanjutnya dipegang oleh Thugrul Bek. Pemimpin Seljukterakhir ini berhasil mengalahkan Mas'ud al-Ghaznawi,penguasa Dinasti Ghaznawiyah, pada tahun 429 H/ 1036 M,dan memaksanya meninggalkan daerah Khurasan. Setelahkeberhasilan tersebut, Thugrul memproklamasikanberdirinya Dinasti Seljuk. Pada tahun 432 H/ 1040 Mdinasti ini mendapat pengakuan dari Khalifah Abbasiyah diBaghdad. Di saat kepemimpinan Thugrul Bek inilah, DinastiSeljuk memasuki Baghdad menggantikan posisi Bani Buwaih.Sebelumnya, Thugrul berhasil merebut daerah-daerahMarwadan Naisabur dari kekuasaan Ghaznawiyah, Balkh,Urjan, Tabaristan, Khawarizm, Ray, dan Isfahan.Posisi dan kedudukan khalifah lebih baik setelah DinastiSeljuk berkuasa; paling tidak kewibawaannya dalam bidangagama dikembalikan setelah beberapa lama "dirampas"orang-orang Syi'ah. Meskipun Baghdad dapat dikuasai,namun ia tidak dijadikan sebagai pusat pemerintahan.Thugrul Bek memilih Naisabur dan kemudian Ray sebagaipusat pemerintahannya. Dinasti-dinasti kecil yangsebelumnya memisahkan diri, setelah ditaklukkan DinastiSeljuk ini, kembali mengakui kedudukan Baghdad, bahkanmereka terus menjaga keutuhan dan keamanan Abbasiyahuntuk membendung faham Syi'ah dan mengembangkan madzhabSunni yang dianut mereka.Sepeninggal Thugrul Bek (455 H/ 1063 M), Dinasti Seljukberturut-turut diperintah oleh Alp Arselan (455-465 H/1063-1072), Maliksyah (465-485 H/ 1072-1092), Mahmud(485-487 H/ 1092-1094 M), Barkiyaruq (487-498 H/ 1094-1103), Maliksyah II (498 H/ 1103 M), Abu Syuja' Muhammad  (498-511 H/ 11 03-1117 M), dan Abu Haris Sanjar (511-522H/ 1117-1128 M). Pemerintahan Seljuk ini dikenaldengan nama al-Salajikah al-Kubra (Seljuk Besar atauSeljuk Agung). Di samping itu, ada beberapa pemerintahanSeljuk lainnya di beberapa daerah sebagaimana disebutkanterdahulu. Pada masa Alp Arselan perluasan daerah yangsudah dimulai oleh Thugrul Bek dilanjutkan ke arah baratsampai pusat kebudayaan Romawi di Asia Kecil, yaituBizantium. Peristiwa penting dalam gerakan ekspansi iniadalah apa yang dikenal dengan peristiwa Manzikart.Tentara Alp Arselan berhasil mengalahkan tentara Romawiyang besar yang terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis, dan Armenia. Dengan dikuasainyaManzikart tahun 1071 M itu, terbukalah peluang baginyauntuk melakukan gerakan penturkian (turkification) diAsia Kecil. Gerakan ini dimulai dengan mengangkatSulaiman ibn Qutlumish, keponakan Alp Arselan, sebagaigubernur di daerah ini. Pada tahun 1077 M (470 H),didirikanlah Kesultanan Seljuk Rum dengan ibukotanyaIconim. Sementara itu putra Arselan, Tutush berhasilmendirikan Dinasti Seljuk di Syria pada tahun 1094 M/ 487H.Pada masa Maliksyah wilayah kekuasaan Dinasti Seljuk inisangat luas, membentang dari Kashgor, sebuah daerah diujung daerah Turki, sampai ke Yerussalem. Wilayah yangluas itu dibagi menjadi lima bagian:^ Seljuk Besar yang menguasai Khurasan, Ray, Jabal, Irak,Persia, dan Ahwaz. Ia merupakan induk dari yang lain.Jumlah syah yang memerintah seluruhnya delapan orang.^ Seljuk Kirman berada di bawah kekuasaan keluarga QawurtBek ibn Dawud ibn Mikail ibn Seljuk. Jumlah syah yangmemerintah dua belas orang.^ Seljuk Irak dan Kurdistan, pemimpin pertamanya adalahMughirs al-Din Mahmud. Seljuk ini secara berturut-turutdiperintah oleh sembilan syah.
 
Seljuk Syria, diperintah oleh keluarga Tutush ibn AlpArselan ibn Daud ibn Mikail ibn Seljuk, jumlah syah yangmemerintah lima orang. Seljuk Rum, diperintah oleh keluarga Qutlumish ibnIsrail ibn Seljuk dengan jumlah syah yang memerintahseluruhnya 17 orang.Di samping membagi wilayah menjadi lima, dipimpin olehgubernur yang bergelar Syah atau Malik itu, penguasaSeljuk juga mengembalikan jabatan perdana menteri yangsebelumnya dihapus oleh penguasa Bani Buwaih. Jabatan inimembawahi beberapa departemen.Pada masa Alp Arselan, ilmu pengetahuan dan agama mulaiberkembang dan mengalami kemajuan pada zaman Sultan MalikSyah yang dibantu oleh perdana menterinya Nizham al-Mulk.Perdana menteri ini memprakarsai berdirinya UniversitasNizhamiyah (1065 M) dan Madrasah Hanafiyah di Baghdad.Hampir di setiap kota di Irak dan Khurasan didirikancabang Nizhamiyah. Menurut Philip K. Hitti, UniversitasNizhamiyah inilah yang menjadi model bagi segalaperguruan tinggi di kemudian hari.Perhatian pemerintah terhadap perkembangan ilmupengetahuan melahirkan banyak ilmuwan muslim padamasanya. Di antara mereka adalah al-Zamakhsyari dalambidang tafsir, bahasa, dan teologi; al-Qusyairy dalambidang tafsir; Abu Hamid al-Ghazali dalam bidang teologi;dan Farid al-Din al-'Aththar dan Umar Khayam dalam bidangsastra.Bukan hanya pembangunan mental spiritual, dalampembangunan fisik pun dinasti Seljuk banyak meninggalkanjasa. Malik Syah terkenal dengan usaha pembangunan dibidang yang terakhir ini. Banyak masjid, jembatan,irigasi dan jalan raya dibangunnya.
 
Setelah Sultan Malik Syah dan perdana menteri Nizham al-Mulk wafat Seljuk Besar mulai mengalami masa kemundurandi bidang politik. Perebutan kekuasaan di antara anggotakeluarga timbul. Setiap propinsi berusaha melepaskan diridari pusat. Konflik-konflik dan peperangan antaranggotakeluarga melemahkan mereka sendiri. Sementara itu,beberapa dinasti kecil memerdekakan diri, seperti Syahat Khawarizm, Ghuz, dan al-Ghuriyah. Pada sisi yang lain,sedikit demi sedikit kekuasaan politik khalifah jugakembali, terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan dinastiSeljuk di Irak berakhir di tangan Khawarizm Syah padatahun 590 H/ l199 M.
 
 
C.   MASA DISINTEGRASI PERANG SALIB


Perang Salib terjadi pada tahun 1905, saat Paus UrbanusII berseru kepada Umat Kristen di Eropa untuk melakukanperang suci, untuk memperoleh kembali keleluasaanberziarah di Baitul Maqdis.Dalam gerakan ekspansi yang dilakukan oleh Alp Arselanadalah peristiwa Manzikart, tahun 464 H (1071 M). TentaraAlp Arselan yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalamperistiwa ini berhasi1 mengalahkan tentara Romawi yangberjumlah 200.000 orang, terdiri dari tentara Romawi,Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis dan Armenia. Peristiwabesar ini menanamkan benih permusuhan dan kebencianorang-orang Kristen terhadap umat Islam, yang kemudianmencetuskan Perang Salib. Kebencian itu bertambah setelahDinasti Seljuk dapat merebut Bait al-Maqdis pada tahun471 H dari kekuasaan dinasti Fathimiyah yang berkedudukandi Mesir. Penguasa Seljuk menetapkan beberapa peraturanbagi umat Kristen yang ingin berziarah ke sana. Peraturanitu dirasakan sangat menyulitkan mereka. Untuk memperolehkembali keleluasaan berziarah ke tanah suci Kristen itu,pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II berseru kepada umatKristen di Eropa supaya melakukan perang suci.
Perang ini kemudian dikenal dengan nama Perang Salib, yang terjadi dalam tiga periode.

1.      Periode PertamaPada musim semi tahun 1095 M; 150.000 orang Eropa,sebagian besar bangsa Perancis dan Norman, berangkatmenuju Konstantinopel, kemudian ke Palestina. TentaraSalib yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymondini memperoleh kemenangan besar. Pada tanggal 18 Juni1097 mereka berhasil menaklukkan Nicea dan tahun 1098 Mmenguasai Raha (Edessa). Di sini mereka mendirikankerajaan Latin I dengan Baldawin sebagai raja. Padatahun yang sama mereka dapat menguasai Antiochea danmendirikan Kerajaan Latin II di Timur. Bohemond dilantikmenjadi rajanya. Mereka juga berhasil menduduki Bait al-Maqdis (15 Juli 1099 M) dan mendirikan Kerajaan LatinIII dengan rajanya, Godfrey. Setelah penaklukan Bait al-Maqdis itu, tentara Salib melanjutkan ekspansinya.Mereka menguasai kota Akka (1104 M), Tripoli (1109 M)dan kota Tyre (1124 M). Di Tripoli mereka mendirikanKerajaan Latin IV, Rajanya adalah Raymond

2.      Periode Kedua maduddin Zanki, penguasa Moshul dan Irak, berhasilmenaklukkan kembali Aleppo, Hamimah, dan Edessa padatahun 1144 M. Namun ia wafat tahun 1146 M. Tugasnyadilanjutkan oleh putranya, Najmuddin Zanki. Najmuddinberhasil merebut kembali Antiochea pada tahun 1149 M danpada tahun 1151 M seluruh Edessa dapat direbut kembali. Kejatuhan Edessa ini menyebabkan orang-orang Kristenmengobarkan Perang Salib kedua. Paus Eugenius IIImenyampaikan perang suci yang disambut positif oleh rajaPerancis Louis VII dan raja Jerman Conrad II. Keduanyamemimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di Syria. Akan tetapi, gerak maju mereka dihambat olehNajmuddin Zanki. Mereka tidak berhasil memasukiDamaskus. Louis VII dan Condrad II sendiri melarikandiri pulang ke negerinya. Najmuddin wafat tahun 1174 M.Pimpinan perang kemudian dipegang oleh Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah diMesir tahun 1175 M. Hasil peperangan Shalahuddin yangterbesar adalah merebut kembali Yerussalem pada tahun1187 M. Dengan demikian kerajaan latin di Yerussalemyang berlangsung selama 88 tahun berakhir.Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum muslimin sangatmemukul perasaan tentara salib. Mereka pun menyusunrencana balasan. Kali ini tentara salib dipimpin olehFrederick Barbarossa raja Jerman, Richard the Lion Hartraja Inggris, dan Philip Augustus raja Perancis. Pasukanini bergerak pada tahun 1189 M. Meskipun mendapattantangan berat dari Shalahuddin, namun mereka berhasilmerebut Akka yang kemudian dijadikan ibu kota kerajaanLatin. Akan tetapi mereka tidak berhasil memasukiPalestina. Pada tanggal 2 Nopember 1192 M, dibuatperjanjian antara tentara salib dengan Shalahuddin yangdisebut dengan Shulh al-Ramlah. Dalam perjanjian inidisebutkan bahwa orang-orang Kristen yang pergiberziarah ke Bait al-Maqdis tidak akan diganggu.

3.      Periode Ketiga Tentara Salib pada periode ini dipimpin oleh rajaJerman, Frederick II. Kali ini mereka berusaha merebutMesir lebih dahulu sebelum ke Palestina dengan harapandapat bantuan dari orang-orang Kristen Qibthi. Padatahun 1219 M, mereka berhasil menduduki Dimyat. RajaMesir dari Dinasti Ayyubiyah waktu itu al-Malik al-Kamilmembuat penjanjian dengan Frederick. Isinya antara lainFrederick bersedia melepaskan Dimyat, sementara al-Malikal-Kamil melepaskan Palestina, Frederick menjaminkeamanan kaum muslimin di sana, dan Frederick tidak mengirim bantuan kepada Kristen di Syria. Dalamperkembangan berikutnya, Palestina dapat direbut kembalioleh kaum muslimin tahun 1247 M, di masa pemerintahanal-Malik al-Shalih, penguasa Mesir selanjutnya. KetikaMesir dikuasai oleh Dinasti Mamalik yang menggantikanposisi Dinasti Ayyubiyah, pimpinan perang dipegang olehBaybars dan Qalawun. Pada masa merekalah Akka dapatdirebut kembali oleh kaum muslimin, tahun 1291 M.Demikianlah Perang Salib yang berkobar di Timur. Perangini tidak berhenti di Barat, di Spanyol, sampai umatIslam terusir dari sana.Walaupun umat Islam berhasil mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara Salib, namun kerugian yang merekaderita banyak sekali, karena peperangan itu terjadi diwilayahnya. Kerugian-kerugian ini mengakibatkan kekuatanpolitik umat Islam menjadi lemah. Dalam kondisi demikianmereka bukan menjadi bersatu, tetapi malah terpecahbelah. Banyak dinasti kecil yang memerdekakan diri daripemerintahan pusat Abbasiyah di Baghdad



D. MASA DISINTEGRASI
     SEBAB- SEBAB KEMUNDURAN PEMERINTAHAN  BANI ABBASIYAH

Masa disintegrasi ini terjadi setelah pemerintahanperiode pertama Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya,pada masa berikutnya pemerintahan dinasti ini mulaimenurun, terutama di bidang politik. Di mana salah satusebabnya adalah kecenderungan penguasa untuk hidup mewahdan kelemahan khalifah dalam memimpin roda pemerintahan.Berakhirnya kekuasaan Dinasti Seljuk atas Baghdad atauKhilafah Abbasiyah merupakan awal dari periode kelima.Pada periode ini, Khalifah Abbasiyah tidak lagi berada dibawah kekuasaan suatu dinasti tertentu, walaupun banyaksekali dinasti Islam berdiri. Ada di antaranya yang cukupbesar, namun yang terbanyak adalah dinasti kecil. ParaKhalifah Abbasiyah, sudah merdeka dan berkuasa kembali,tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya. Wilayah kekuasaankhalifah yang sempit ini menunjukkan kelemahanpolitiknya. Pada masa inilah tentara Mongol dan Tartarmenyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancurluluhkan tanpa perlawanan yang berarti.Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol iniawal babak baru dalam sejarah Islam, yang disebut masapertengahan.

Sebagaimana terlihat dalam periodisasi Khilafah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode kedua.Namun demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran itutidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudahterlihat pada periode pertama, hanya karena khalifah padaperiode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempatberkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihatbahwa apabila khalifah kuat, para menteri cenderungberperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jikakhalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur rodapemerintahan.

Di samping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yangmenyebabkan Khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain.Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
1.       Persaingan Antarbangsa
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yangbersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuandilatarbelakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itupada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-samatertindas. Setelah Khilafah Abbasiyah berdiri, DinastiBani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. MenurutStryzewska, ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilihorang-orang Persia daripada orang-orang Arab. Pertama,sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan BaniUmayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelassatu. Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belahdengan adanya nashabiyah (kesukuan). Dengan demikian,Khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas nashabiyahtradisional.
 
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas.Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja danpegawai dari Persia pula. Sementara itu bangsa Arabberanggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh merekaadalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendahbangsa non-Arab di dunia Islam.

Selain itu wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periodepertama sangat luas, meliputi berbagai bangsa yangberbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia,Turki dan India. Mereka disatukan dengan bangsa Semit.Kecuali Islam, pada waktu itu tidak ada kesadaran yangmerajut elemen-elemen yang bermacam-macam tersebutdengan kuat. Akibatnya, di samping fanatisme kearaban,muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain yang melahirkangerakan syu'ubiyah.Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembangoleh penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankansistem perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia atauTurki dijadikan pegawai dan tentara. Mereka diberi nasabdinasti dan mendapat gaji. Oleh Bani Abbas, merekadianggap sebagai hamba. Sistem perbudakan ini telahmempertinggi pengaruh bangsa Persia dan Turki. Karenajumlah dan kekuatan mereka yang besar, mereka merasabahwa negara adalah milik mereka; mereka mempunyaikekuasaan atas rakyat berdasarkan kekuasaan khalifah.Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasikekuasaan sudah dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyahberdiri. Akan tetapi, karena para khalifah adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan,stabilitas politik dapat terjaga. Setelah al-Mutawakkil,seorang khalifah yang lemah naik tahta, dominasi tentaraTurki tak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan BaniAbbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada ditangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbutoleh Bani Buwaih, bangsa Persia pada periode ketiga, dan
selanjutnya beralih kepada dinasti Seljuk pada periodekeempat

2.      Kemerosotan EkonomiKhilafah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidangekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik.Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakanpemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dariyang keluar, sehingga Bait al-Mal penuh dengan harta. Pertambahan dana yang besar diperoleh antara lain dari al-Kharaj semacam pajak hasil bumi.Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatannegara menurun sementara pengeluaran meningkat lebihbesar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan olehmakin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadikerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat.diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecilyang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti.Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkanoleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah.Jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabatmelakukan korupsi. Kondisi politik yang tidak stabilmenyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya,kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politikDinasti Abbasiyah kedua, faktor ini saling berkaitan dantak terpisahkan.
3.      .Konflik Keagamaan Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalankebangsaan. Karena cita-cita orang Persia tidaksepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagianmereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterismedan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengangerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah. Al-Manshur berusaha keras memberantasnya. Al-Mahdibahkan merasa perlu mendirikan jawatan khusus untukmengawasi kegiatan orang-orang Zindiq dan melakukanmihnah dengan tujuan memberantas bid'ah. Akan tetapi,semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflikantara kaum beriman dengan golongan Zindiq berlanjutmulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemiktentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yangmenumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjataitu.Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnyabanyak berlindung di balik ajaran Syi'ah, sehinggabanyak aliran Syi'ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dandianggap menyimpang oleh penganut Syi'ah sendiri. AliranSyi'ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islamyang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antarakeduanya sering terjadi konflik yang kadang-kadang jugamelibatkan penguasa. Al-Mutawakkil misalnya,memerintahkan agar makam Husain di Karbala dihancurkan.Namun anaknya, al-Muntashir (861-862 M.) kembalimemperkenankan orang syi'ah "menziarahi" makam Husaintersebut. Syi'ah pernah berkuasa di dalam KhilafahAbbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun.Dinasti Idrisiyah di Maroko dan Khilafah Fathimiyah diMesir adalah dua dinasti Syi'ah yang memerdekakan diridari Baghdad yang Sunni. Konflik yang dilatarbelakangiagama tidak terbatas pada konflik antara muslim danzindiq atau Ahlussunnah dengan Syi'ah saja, tetapi jugaantar aliran dalam Islam. Mu'tazilah yang cenderungrasional dituduh sebagai pembuat bid'ah oleh golonganAhlus Sunnah. Perselisihan antara dua golongan inidipertajam oleh al-Ma'mun, khalifah ketujuh dinastiAbbasiyah (813-833 M.) dengan menjadikan Mu'tazilah sebagai madzhab resmi negara dan melakukan minah. Pada masa al-Mutawakkil (847-861) aliran Mu'tazilahdibatalkan sebagai aliran negara dan golongan AhlusSunnah kembali naik daun. Aliran Mu'tazilah bangkit kembali pada masa DinastiBuwaih. Namun pada masa Dinasti Seljuk yang menganutaliran Asy'ariyyah, penyingkiran golongan Mu'tazilahmulai dilakukan secara sistematis. Dengan didukungpenguasa aliran Asy'ariyah tumbuh subur dan berjaya.

Berkenaan dengan konflik keagamaan itu, Syed Ameer Ali mengatakan:
"Agama Muhammad SAW seperti juga agama Isa as.,terkeping-keping oleh perpecahan dan perselisihan daridalam. Perbedaan pendapat mengenai soal-soal abstrakyang tidak mungkin ada kepastiannya dalam suatukehidupan yang mempunyai akhir, selalu menimbulkankepahitan yang lebih besar dan permusuhan yang lebihsengit dari perbedaan-perbedaan mengenai hal-hal yang masih dalam lingkungan pengetahuan manusia. Soalkehendak bebas manusia...telah menyebabkan kekacauanyang rumit dalam Islam... Pendapat bahwa rakyat dankepala agama mustahil berbuat salah ... menjadi sebab binasanya jiwa-jiwa berharga’’.

4.      Ancaman dari Luar
Apa yang disebutkan di atas adalah faktor-faktorinternal. Di samping itu, ada pula faktor-faktoreksternal yang menyebabkan Khilafah Abbasiyah lemah dana khirnya hancur :

Pertama, Perang Salib yang berlangsung beberapagelombang atau periode dan menelan banyak korban.Sebagaimana telah disebutkan, orang-orang Kristen Eropaterpanggil untuk ikut berperang setelah Paus Urbanus II(1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya. Perang Salib itujuga membakar semangat perlawanan orang-orang Kristenyang berada di wilayah kekuasaan Islam. Namun, diantarakomunitas-komunitas Kristen Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon yang tertarik dengan Perang Salib danmelibatkan diri dalam tentara Salib itu.

Kedua, serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaanIslam. Pengaruh Perang Salib juga terlihat dalampenyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulagu Khan,panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena iabanyak dipengaruhi oleh orang-orang Buddha dan KristenNestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahl al-kitab. Tentara mongol, setelah menghancurleburkan pusat-pusat islam, ikut memperbaiki yerussalem.

Daftar Pustaka
Munthoha, dkk. 1997. Pemikiran dan Peradaban Islam. Jogjakarta: UII Press.
Yatim, Badri. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Press.