Selasa, 23 April 2013

SARA, AGAMA , DAN KONFLIK SOSIAL


  1. SARA (Suku, Agama, dan Ras)
Sebelum kita masuk kedalam pokok pembahasan tentang konflik sosial, kita akan cari tahu apa yang dimaksud dengan SARA, karena SARA merupakan salah satu pemicu terjadinya konflik yang diakibatkan kesalah pahaman, perbedaan pendapat dan lain-lain.

SARA merupakan singkatan dari Suku, Agama dan Ras. Suku memliki arti yaitu suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan indentitas akan kesatuan kebudayaan, sedangkan kesadaran dan indentitas tadi sering kali (tetapi tidak selalu) dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga.
Agama, dalam pandangan Emile Durkheim merupakan sebagai satu sistem yang terintergrasi antara kepercayaan dan praktik suci. Keduanya mempersatukan individu yang memiliki keyakinan yang sama (seiman ) kedalam satu komunitas yang sering dikenal dengan umat beragama.

Ras meruapakan ciri-ciri fisik yang dimiliki oleh manusia karena setiap daerah di dunia memiliki cirri-ciri manusia yang berbeda. Sebagaimana yang di klasifikasi oleh A. L. Kroeber tentang ras-ras didunia, menurut dia klasifikasi ras di dunia  dibagi menjadi 5 yaitu Ras Austrolid, Ras Mongoloid, Ras kaukasoid, Ras Negroid, dan Ras-ras Khusus.

  1. Konflik Sosial
Para ahli teori konflik lebih lanjut berpendapat bahwa konflik terjadi diantara organisasi. Dengan kata lain, organisasi-organisasi berusaha menggunakan kekuatan mereka untuk meraup keuntungan sendiri. Gejala-gejala yang menyebabkan terjadinya konflik, yakni:
  1. Ketidaksefahaman (lagi) pada anggota kelompok tentang tujuan masyarakat yang semula menjadi pegangan kelompok.
  2. Norma-norma sosial tidak membantu anggota masyarakat lagi dalam mencapai tujuan yang telah disepakatinya.
  3. Norma-norma dalam kelompok dan yang dihayati oleh anggotanya bertentangan satu sama lain.
  4. Sanksi sudah menjadi lemah bahkan tidak lagi dilaksanakan dengan konsukuen.
  5. Tindakan anggota masyarakat sudah bertentagan dengan norma-norma kelompok.
Pada dasarnya masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk. Marilah pertama kali kita mengingat kembali beberapa karakteristik yang dapat kita kenali sebagai sifat dasar dari suatu masyarakat majemuk sebagaimana yang dikemukakan oleh Van Den Berghe, yakni:
  1. Terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang seringkali memiliki kebudayaan, atau lebih tepat subkebudayaan, yang berbeda satu sama lain.
  2. Memiliki struktur social yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non komplementer.
  3. Kurang mengembangkan konsensus di antara para anggota masyarakat tentang nilai-nilai sosial bersifat dasar.
  4. Secara relatif seringkali terjadi konflik di antara kelompok satu dengan kelompok yang lain.
  5. Secara relatif integrasi social tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan didalam ekonomi.
  6. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok lain.
  1. Tingkatan Konflik
1.      Konflik di dalam tingkatnya yang bersifat ideologis.
Pada tingkat ideologis, konflik-konflik tersebut dapat kita simak dalam bentuk perbedaan-perbedaan pengertian dasar diantara berbgai golongan masyarakat mengenai berbagai macam hal. Universalisme dan ajaran tentang keselamatan dari golongan santri dan relativisme dari golongan abangan di Jawa. Golongan menganggap agama islam sebagai agamanya orang Arab, dan oleh karena itu mereka tidak dengan sepenuh hati menghayatinya.
Golongan santri, sebalikya menuduh orang-orang abangan sebagai kaum musyrik yang menduakan tuhan. Pengetahuan kebatinan yang oleh orang-orang abangan diyakini sebagai pengetahuan Jawa asli, yang oleh karenanya seringkali disebut juga sebagai ngelmu kejawen, sesungguhnya adalah kepercayaan keagamaan yang berasal dari India yang bercampur dengan kepercayaan animisme.
Konflik ideologis memang lebih mudah disimak di dalam hubungannya dengan perbedaan-perbedaan agama.  Sementara itu konflik ideologis antara lapisan-lapisan social bukannya tidak ada. Lapisan elit yang biasa disebut juga priyayi, berpendidikan dan kebanyakan berasal dari atau tinggal di kota, pada umumnya memandang lapisan bawah atau wong cilik sebagai lapisan orang-orang yang kurang berpendidikan, bodoh, tradisional, dan tidak bergairah didalam mengikuti perubahan-perubahan. Lapisan wong cilik, sebaliknya, tidak jarang memandang lapisan elit sebagai lapisan orang-orang yang sudah tidak begitu hormat terhadap tradisi lama dan korup.
Konflik-konflik ideologis diantara berbagai golongan di dalam masyarakat Indonesia sebagaimana kita uraikan diatas, telah menjadi sebab bagi timbulnya kesulitan-kesulitan untuk mempertumbuhkan aturan permainan (rules of the game). Konflik di dalam tingkatnya yang bersifat indeologis, sesuai dengan pandangan Max Weber yang memiliki pandangan:
1.      Ide-ide agama bisa menjadi sumber konflik.
2.   Ide-ide agama dapat membantu melegitimasi posisi sosial dari kelompok yang dominan dalam masyarakat.
3.      Mengakui pentingnya konflik dalam bidang ekonomi, dan melihat bahwa perjuangan atau konflik juga terjadi dalam bidang distribusi prestise atau ststus dan kekuasaan politik.

Kita lihat seperti hal nya yang terjadi di Cikuesik Banten yang dimana terjadi penyerangan yang dilakukan sekelompok masyarakat yang membawa nama Islam untuk menyerang kelompok aliran ahmadiyah yang dianggap sebagai aliran agama sesat bagi agama Indonesia. Sehingga masyarakat tersebut menyerang kelompok aliran tersebut dengan membabi buta.
Kasus tersebut pas sekali dengan apa yang dikatakan oleh Max Weber tentang pandangan ia mengenai konflik dengan tingkatan ideologis.

2.         Konflik di dalam tingkatnya yang bersifat politik.
Ada beberapa indikasi yang bisa dipakai oleh para ahli ilmu-ilmu sosial untuk menilai intensitas daripada pertentangan-pertentangan politik di dalam suatu masyarakat. Charles Lewis Taylor dan Micheal C. Hudson, misalnya sangat membantu kita di dalam melihat betapa pertentangan-pertentangan politik itu terjadi didalam masyarakat Indonesia. Dengan beberapa indikator yang dimuat di dalam karya mereka itu, kita dapat menggambarkan intesitas konflik-konflik politik yang terjadi di dalam masyarakat Indonesia.
Ø   Indikator pertama
Apa yang mereka sebut dengan demonstrasi (a protest demonstration). Yang dimaksud dengan demonstrasi di sini adalah sejumlah orang yang dengan tidak menggunakan kekerasan mengorganisir diri untuk melakukan protes terhadap suatu rezim, pemerintah, atau pimpinan dari rezim atau pemerintahan tersebut atau terhadap suatu tindakan yang sedang direncanakan.
Ø  Indikator kedua
Kerusuhan suatu istilah yang barangkali tidak terlalu tepat untuk menggantikan istilah “riot” sebagaimana yang digunakan oleh Taylor dan Hudson. Kerusuhan, pada dasarnya adalah sama dengan demonstrasi. Ia hanya berbeda dari demonstrasi oleh karena kurusuhan mengandung penggunaan kekerasan fisik, yang biasanya diikuti dengan pengrusakan barang-barang, pemukulan atau pembunuhan oleh alat keamanan atas pelaku-pelaku kerusuhan, penggunaan alat-alat pengendalian kerusuhan oleh para petugas keamanan di satu pihak, dan penggunaan berbagai macam senjata atau alat pemukul oleh para pelaku kerusuhan di lain pihak. Contohnya seperti kerusuhan yang terjadi pada tahun 1998 yang dimana mahasiswa yang menuntut reformasi pada pemerintahan. Pada saat itu banyak terjadi pengrusakan gedung pertokaan dan lain-lain.
Ø   Indikator yang ketiga
Adalah apa yang disebut sebagai serangan bersenjata (armed attack), yakni suatu tindakan kekerasan yang dilakukan oleh atau kepentingan suatu kelompok tertentu dengan maksud melemahkan atau bahkan menghancurkan kekuasaan dari kelompok lain. Ia ditandai oleh terjadinya pertumpahan darah, pergulatan fisik, atau pengrusakan barang-barang.
Ø  Indikator keempat
Berhubungan dan merupakan akibat daripada armed attack, akan tetapi juga berhubungan dengan dan merupakan akibat dari kerusuhan dan untuk sebagian lagi berhubungan dengan dan merupakan akibat dari demonstrasi. Indikator yang dimaksud adalah jumlah kematian sebagai akibat kekerasan politik.
Salah satu perubahan politik yang paling penting yang dapat dipakai sebagai indikator daripada konflik-konflik politik adalah terjadinya perubahan-perubahan di dalam lembaga- lembaga eksekutif. Indikator ini dapat dibedakan ke dalam dua macam perubahan eksekutif, yakni pemindahan kekuasaan yang bersifat eksekutif yang bersifat regular (regular executive transfer) merupakan suatu pemindahan kekuasaan eksekutif pada tingkat nasional dari suatu pemimpinan atau kelompok penguasaa kepada pemimpin atau kelompok penguasa yang yang lain melalui cara-cara yang bersifat legal-konvensional atau melalui prosedur-prosedur yang sudah menjadi kebiasaan, tanpa disertai dengan tekanan kekerasan fisik yang nyata dan langsung.

Sedangkan pemindahan kekuasaan eksekutif yang bersifat ireguler (irregular power transfer) merupakan suatu peristiwa pemindahan kekuasaan eksekutif pada tingkat nasional dari suatu pemimpin atau kelompok penguasa kepada pemimpin atau kelompok penguasa  yang lain melalui cara-cara yang tidak legal-konvensional atau prosedur-prosedur yang tidak biasa.
D.    Cara-cara Pemecahan konflik
Usaha manusia untuk meredakan pertikaian atau konflik dalam mencapai kestabilan dinamakan “akomodasi”. Pihak-pihak yang berkonflik kemudian saling menyesuaikan diri pada keadaan tersebut dengan cara bekerja sama. Bentuk-bentuk akomodasi :
1.    Gencatan senjata, yaitu penangguhan permusuhan untuk jangka waktu tertentu, guna melakukan suatu pekerjaan tertentu yang tidak boleh diganggu. Misalnya : untuk melakukan perawatan bagi yang luka-luka, mengubur yang tewas, atau mengadakan perundingan perdamaian, merayakan hari suci keagamaan, dan lain-lain.
2.  Abitrasi, yaitu suatu perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak ketiga yang memberikan keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua belah pihak. Kejadian seperti ini terlihat setiap hari dan berulangkali di mana saja dalam masyarakat, bersifat spontan dan informal. Jika pihak ketiga tidak bisa dipilih maka pemerintah biasanya menunjuk pengadilan.
3.  Mediasi, yaitu penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak diberikan keputusan yang mengikat. Contoh : PBB membantu menyelesaikan perselisihan antara Indonesia dengan Belanda.
4.     Konsiliasi, yaitu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih sehingga tercapai persetujuan bersama. Misalnya : Panitia tetap penyelesaikan perburuhan yang dibentuk Departemen Tenaga Kerja. Bertugas menyelesaikan persoalan upah, jam kerja, kesejahteraan buruh, hari-hari libur, dan lain-lain.
5.  Stalemate, yaitu keadaan ketika kedua belah pihak yang bertentangan memiliki kekuatan yang seimbang, lalu berhenti pada suatu titik tidak saling menyerang. Keadaan ini terjadi karena kedua belah pihak tidak mungkin lagi untuk maju atau mundur. Sebagai contoh : adu senjata antara Amerika Serikat dan Uni Soviet pada masa Perang dingin.
6.      Adjudication (ajudikasi), yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan.

DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta.
Nasikun. 2007. Sistem sosial Indonesia. Jakarta : PT Raja Gravindo Persada.
Razak, Yusron. 2010. Sosiologi sebuah pengantar. Jakarta : Laboraturium Sosiologi Agama.
Susanto, S. Astrid. 1983. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Jakarta : Binacipta (Anggota IKAPI).
http://id.wikipedia.org/wiki/Penyelesaian_konflik.

1 komentar:

  1. rasa-rasanya konflik semakin sering terjadi, seperti bola panasyang menggelinding, yang membakar apapun yang dilewatinya.

    maka kita harus senantiasa menghargai orang lain.
    ^^

    BalasHapus