- SARA (Suku, Agama, dan Ras)
Sebelum kita
masuk kedalam pokok pembahasan tentang konflik sosial, kita akan cari tahu apa yang dimaksud dengan SARA, karena SARA merupakan
salah satu pemicu terjadinya konflik yang diakibatkan kesalah pahaman,
perbedaan pendapat dan lain-lain.
SARA merupakan
singkatan dari Suku, Agama dan Ras. Suku memliki arti yaitu suatu golongan
manusia yang terikat oleh kesadaran dan indentitas akan kesatuan kebudayaan,
sedangkan kesadaran dan indentitas tadi sering kali (tetapi tidak selalu)
dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga.
Agama, dalam pandangan
Emile Durkheim merupakan sebagai satu sistem yang terintergrasi antara
kepercayaan dan praktik suci. Keduanya mempersatukan individu yang memiliki
keyakinan yang sama (seiman ) kedalam satu komunitas yang sering dikenal dengan
umat beragama.
Ras meruapakan
ciri-ciri fisik yang dimiliki oleh manusia karena setiap daerah di dunia
memiliki cirri-ciri manusia yang berbeda. Sebagaimana yang di klasifikasi oleh
A. L. Kroeber tentang ras-ras didunia, menurut dia klasifikasi ras di
dunia dibagi menjadi 5 yaitu Ras
Austrolid, Ras Mongoloid, Ras kaukasoid, Ras Negroid, dan Ras-ras Khusus.
- Konflik Sosial
Para ahli teori
konflik lebih lanjut berpendapat bahwa konflik terjadi diantara organisasi.
Dengan kata lain, organisasi-organisasi berusaha menggunakan kekuatan mereka
untuk meraup keuntungan sendiri. Gejala-gejala yang menyebabkan terjadinya
konflik, yakni:
- Ketidaksefahaman (lagi) pada anggota kelompok
tentang tujuan masyarakat yang semula menjadi pegangan kelompok.
- Norma-norma sosial tidak membantu anggota masyarakat
lagi dalam mencapai tujuan yang telah disepakatinya.
- Norma-norma dalam kelompok dan yang dihayati oleh
anggotanya bertentangan satu sama lain.
- Sanksi sudah menjadi lemah bahkan tidak lagi
dilaksanakan dengan konsukuen.
- Tindakan anggota masyarakat sudah bertentagan
dengan norma-norma kelompok.
Pada dasarnya
masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk. Marilah pertama kali kita
mengingat kembali beberapa karakteristik yang dapat kita kenali sebagai sifat
dasar dari suatu masyarakat majemuk sebagaimana yang dikemukakan oleh Van Den
Berghe, yakni:
- Terjadinya segmentasi ke dalam bentuk
kelompok-kelompok yang seringkali memiliki kebudayaan, atau lebih tepat
subkebudayaan, yang berbeda satu sama lain.
- Memiliki struktur social yang terbagi-bagi ke
dalam lembaga-lembaga yang bersifat non komplementer.
- Kurang mengembangkan konsensus di antara para
anggota masyarakat tentang nilai-nilai sosial bersifat dasar.
- Secara relatif seringkali terjadi konflik di
antara kelompok satu dengan kelompok yang lain.
- Secara relatif integrasi social tumbuh di atas
paksaan (coercion) dan saling ketergantungan didalam ekonomi.
- Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok lain.
- Tingkatan Konflik
1.
Konflik di dalam tingkatnya yang bersifat ideologis.
Pada tingkat
ideologis, konflik-konflik tersebut dapat kita simak dalam bentuk
perbedaan-perbedaan pengertian dasar diantara berbgai golongan masyarakat
mengenai berbagai macam hal. Universalisme dan ajaran tentang keselamatan dari
golongan santri dan relativisme dari golongan abangan di Jawa. Golongan
menganggap agama islam sebagai agamanya orang Arab, dan oleh karena itu mereka
tidak dengan sepenuh hati menghayatinya.
Golongan santri,
sebalikya menuduh orang-orang abangan sebagai kaum musyrik yang menduakan tuhan.
Pengetahuan kebatinan yang oleh orang-orang abangan diyakini sebagai
pengetahuan Jawa asli, yang oleh karenanya seringkali disebut juga sebagai
ngelmu kejawen, sesungguhnya adalah kepercayaan keagamaan yang berasal dari
India yang bercampur dengan kepercayaan animisme.
Konflik
ideologis memang lebih mudah disimak di dalam hubungannya dengan
perbedaan-perbedaan agama. Sementara itu
konflik ideologis antara lapisan-lapisan social bukannya tidak ada. Lapisan
elit yang biasa disebut juga priyayi, berpendidikan dan kebanyakan berasal dari
atau tinggal di kota, pada umumnya memandang lapisan bawah atau wong cilik
sebagai lapisan orang-orang yang kurang berpendidikan, bodoh, tradisional, dan
tidak bergairah didalam mengikuti perubahan-perubahan. Lapisan wong cilik,
sebaliknya, tidak jarang memandang lapisan elit sebagai lapisan orang-orang
yang sudah tidak begitu hormat terhadap tradisi lama dan korup.
Konflik-konflik
ideologis diantara berbagai golongan di dalam masyarakat Indonesia sebagaimana
kita uraikan diatas, telah menjadi sebab bagi timbulnya kesulitan-kesulitan
untuk mempertumbuhkan aturan permainan (rules of the game). Konflik di dalam
tingkatnya yang bersifat indeologis, sesuai dengan pandangan Max Weber yang
memiliki pandangan:
1.
Ide-ide agama bisa menjadi sumber konflik.
2. Ide-ide agama dapat membantu melegitimasi posisi sosial dari kelompok
yang dominan dalam masyarakat.
3.
Mengakui pentingnya konflik dalam bidang ekonomi, dan melihat bahwa
perjuangan atau konflik juga terjadi dalam bidang distribusi prestise atau
ststus dan kekuasaan politik.
Kita lihat
seperti hal nya yang terjadi di Cikuesik Banten yang dimana terjadi penyerangan
yang dilakukan sekelompok masyarakat yang membawa nama Islam untuk menyerang
kelompok aliran ahmadiyah yang dianggap sebagai aliran agama sesat bagi agama
Indonesia. Sehingga masyarakat tersebut menyerang kelompok aliran tersebut
dengan membabi buta.
Kasus tersebut
pas sekali dengan apa yang dikatakan oleh Max Weber tentang pandangan ia
mengenai konflik dengan tingkatan ideologis.
2.
Konflik di dalam tingkatnya yang bersifat politik.
Ada beberapa
indikasi yang bisa dipakai oleh para ahli ilmu-ilmu sosial untuk menilai
intensitas daripada pertentangan-pertentangan politik di dalam suatu
masyarakat. Charles Lewis Taylor dan Micheal C. Hudson, misalnya sangat
membantu kita di dalam melihat betapa pertentangan-pertentangan politik itu
terjadi didalam masyarakat Indonesia. Dengan beberapa indikator yang dimuat di
dalam karya mereka itu, kita dapat menggambarkan intesitas konflik-konflik
politik yang terjadi di dalam masyarakat Indonesia.
Ø Indikator pertama
Apa yang mereka sebut dengan demonstrasi (a protest
demonstration). Yang dimaksud dengan demonstrasi di sini adalah sejumlah orang
yang dengan tidak menggunakan kekerasan mengorganisir diri untuk melakukan
protes terhadap suatu rezim, pemerintah, atau pimpinan dari rezim atau
pemerintahan tersebut atau terhadap suatu tindakan yang sedang direncanakan.
Ø Indikator kedua
Kerusuhan suatu istilah yang barangkali tidak terlalu
tepat untuk menggantikan istilah “riot” sebagaimana yang digunakan oleh Taylor
dan Hudson. Kerusuhan, pada dasarnya adalah sama dengan demonstrasi. Ia hanya
berbeda dari demonstrasi oleh karena kurusuhan mengandung penggunaan kekerasan
fisik, yang biasanya diikuti dengan pengrusakan barang-barang, pemukulan atau
pembunuhan oleh alat keamanan atas pelaku-pelaku kerusuhan, penggunaan
alat-alat pengendalian kerusuhan oleh para petugas keamanan di satu pihak, dan
penggunaan berbagai macam senjata atau alat pemukul oleh para pelaku kerusuhan
di lain pihak. Contohnya seperti kerusuhan yang terjadi pada tahun 1998 yang
dimana mahasiswa yang menuntut reformasi pada pemerintahan. Pada saat itu
banyak terjadi pengrusakan gedung pertokaan dan lain-lain.
Ø Indikator yang ketiga
Adalah apa yang disebut sebagai serangan bersenjata
(armed attack), yakni suatu tindakan kekerasan yang dilakukan oleh atau
kepentingan suatu kelompok tertentu dengan maksud melemahkan atau bahkan
menghancurkan kekuasaan dari kelompok lain. Ia ditandai oleh terjadinya
pertumpahan darah, pergulatan fisik, atau pengrusakan barang-barang.
Ø Indikator keempat
Berhubungan dan merupakan akibat daripada armed
attack, akan tetapi juga berhubungan dengan dan merupakan akibat dari kerusuhan
dan untuk sebagian lagi berhubungan dengan dan merupakan akibat dari
demonstrasi. Indikator yang dimaksud adalah jumlah kematian sebagai akibat
kekerasan politik.
Salah satu
perubahan politik yang paling penting yang dapat dipakai sebagai indikator
daripada konflik-konflik politik adalah terjadinya perubahan-perubahan di dalam
lembaga- lembaga eksekutif. Indikator ini dapat dibedakan ke dalam dua macam
perubahan eksekutif, yakni pemindahan kekuasaan yang bersifat eksekutif yang
bersifat regular (regular executive transfer) merupakan suatu pemindahan
kekuasaan eksekutif pada tingkat nasional dari suatu pemimpinan atau kelompok
penguasaa kepada pemimpin atau kelompok penguasa yang yang lain melalui
cara-cara yang bersifat legal-konvensional atau melalui prosedur-prosedur yang
sudah menjadi kebiasaan, tanpa disertai dengan tekanan kekerasan fisik yang
nyata dan langsung.
Sedangkan pemindahan
kekuasaan eksekutif yang bersifat ireguler (irregular power transfer) merupakan
suatu peristiwa pemindahan kekuasaan eksekutif pada tingkat nasional dari suatu
pemimpin atau kelompok penguasa kepada pemimpin atau kelompok penguasa yang lain melalui cara-cara yang tidak
legal-konvensional atau prosedur-prosedur yang tidak biasa.
D. Cara-cara Pemecahan konflik
Usaha manusia untuk meredakan pertikaian atau konflik dalam mencapai
kestabilan dinamakan “akomodasi”. Pihak-pihak yang berkonflik kemudian saling
menyesuaikan diri pada keadaan tersebut dengan cara bekerja sama. Bentuk-bentuk
akomodasi :
1. Gencatan senjata, yaitu
penangguhan permusuhan untuk jangka waktu tertentu, guna melakukan suatu
pekerjaan tertentu yang tidak boleh diganggu. Misalnya : untuk melakukan
perawatan bagi yang luka-luka, mengubur yang tewas, atau mengadakan perundingan
perdamaian, merayakan hari suci keagamaan, dan lain-lain.
2. Abitrasi, yaitu suatu perselisihan yang
langsung dihentikan oleh pihak ketiga yang memberikan keputusan dan diterima
serta ditaati oleh kedua belah pihak. Kejadian seperti ini terlihat setiap hari
dan berulangkali di mana saja dalam masyarakat, bersifat spontan dan informal.
Jika pihak ketiga tidak bisa dipilih maka pemerintah biasanya menunjuk
pengadilan.
3. Mediasi,
yaitu penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak diberikan keputusan
yang mengikat. Contoh : PBB membantu menyelesaikan perselisihan antara Indonesia
dengan Belanda.
4. Konsiliasi, yaitu usaha untuk
mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih sehingga tercapai
persetujuan bersama. Misalnya : Panitia tetap penyelesaikan perburuhan yang
dibentuk Departemen Tenaga Kerja.
Bertugas menyelesaikan persoalan upah, jam kerja, kesejahteraan buruh,
hari-hari libur, dan lain-lain.
5. Stalemate, yaitu keadaan ketika kedua
belah pihak yang bertentangan memiliki kekuatan yang seimbang, lalu berhenti
pada suatu titik tidak saling menyerang. Keadaan ini terjadi karena kedua belah
pihak tidak mungkin lagi untuk maju atau mundur. Sebagai contoh : adu senjata antara Amerika
Serikat dan Uni Soviet pada masa Perang
dingin.
DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat.
2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta
: Rineka Cipta.
Nasikun. 2007.
Sistem sosial Indonesia. Jakarta : PT
Raja Gravindo Persada.
Razak, Yusron. 2010. Sosiologi sebuah pengantar. Jakarta : Laboraturium Sosiologi Agama.
Susanto, S. Astrid. 1983. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Jakarta : Binacipta
(Anggota IKAPI).
http://id.wikipedia.org/wiki/Penyelesaian_konflik.
rasa-rasanya konflik semakin sering terjadi, seperti bola panasyang menggelinding, yang membakar apapun yang dilewatinya.
BalasHapusmaka kita harus senantiasa menghargai orang lain.
^^