HISTORIOGRAFI TRADISIONAL
Historiografi
tradisional adalah tradisi penulisan sejarah yang berlaku pada masa setelah
masyarakat Indonesia mengenal tulisan, baik pada Zaman Hindu-Budha maupun pada
Zaman Islam. Ada pada abad 4 M sampai abad 16 M.
Berdasarkan
lontara (aksara tradisional masyarakat Bugis-Makassar), Noorduyn memandang
bahwa karya historiografi tradisioal dianggap sebagai corak penulisan yang
dingin dan tidak diterima dalam kelompok karya kritis ilmiah. Karya-karya
seperti babad, hikayat, tambo, silsilah atau karya sejenis sepintas tidak lulus
sebagai karya sejarah dalam pengertian yang modern. Di situ ada kecenderungan
umum adalah mencari keterangan kepada sesuatu yang berada di luar sejarah. Yang
penting tidak terletak pada rangkaian peristiwa-peristiwa, tetapi pada kekuatan
yang berada secara alamiah di luar sejarah, di mana ditonjolkan suasana
religiomagis, dan bukan kritis ilmiah. Karya tersebut lebih menonjolkan nasib,
kutukan, rahmat, bukan berhasil atau gagal.
Pemahaman
terhadap karya historiografi tradisional itu ditentukan oleh penghayatan
cultural dari pembaca sehingga tanpa pengahayatan tersebut, maka kredibilitas
itu menjadi lebur, atau hampir lembur dengan objeknya. Para penulis karya
historiografi tradisional memang tidak bertujuan untuk menyatakan benar
tidaknya fakta dari sudut sejarah sebagaimana ia terjadi. Fakta yang terkandung
dalam karya-karya itu bukan harus diterima tidaknya fakta tersebut sebagai
gambaran sah masa lampau, melainkan suatu proses pemaknaan pada peristiwa. Oleh
karena itu, historiografi tradisional sebagai sejarah lokal memuat campuran
unsur-unsur mitologis, eskhatologis, kronologis, religi-magis dan kosmogonis.
Historiografi
tradisional merupakan suatu karya yang tidak dapat dianggap sebagai sebagai
karya yang tidak dapat dianggap sebagai karya yang sudah selesai. Jadi, sebagai
sumber, historigrafi tradisional berkedudukan sebagai bahan atau sumber primer
yang memerlukan penelaahan yang mendalam dan hati-hati karena historiografi tradisional
cenderung mengaburkan 2 macam realitas, yaitu:
1. Realitas
yang objektif terjadi (pengalaman yang aktual).
2. Realitas
yang riil dalam diri (penghayatan cultural yang kolektif).
Historiografi
tradisional dalam penelitian harus melalui tahap:
1. Kritik
ekstern pada penelitian sejarah.
2. Kritik
intern seperti yang dikerjakan dalam penelitian filologi.
3. Diperlukan
kesadaran dan pengetahuan yang mendalam tentang latar belakang cultural
masyarakat yang menghasilkan karya historiografi tradisional.
Kemudian
perbandingan sumber-sumber ekstern dilakukan seperti Tiongkok (Cina), Belanda,
atau tradisi lisan. Pengetahuan latar belakang kultural dapat membantu
membersihkan fakta dari unsur legenda mitos dan dongeng. fakta dalam waktu
tertentu dikelilingi oleh legenda, mitos, dan dongeng.
Ada
kecenderungan bahwa historiografi tradisional menurut Raymond Wiliams bermuatan
The Myth of Concern (mitos penguat) yang bertujuan utama untuk
memelihara keseimbangan, atau kewajaran kosmos, dan berfungsi bagi kematapan
nilai dan tata yang berlaku. Penguatan kekuatan magis penguasa, titisan dewa,
legitimasi dengan penonjolan dalam penerimaan wahyu, wangsit, atau pulung,
memberikan legitimasi bagi struktur yang mendukung tuntutan kultural. Struktur
tersebut diwakili raja, bangsawan, atau kelas pemelihara, atau semua kalangan
masyarakat, yang kemantapan kosmos terpelihara. Struktur kekuasaan dan sosial
harus selalu ada bagi kepentingan kosmos yang teratur, mantap, dan dijauhkan
dengan situasi chaos berarti kehancuran dan situasi yang tidak menentu.
Pada
intinya, historiografi tradisional mencerminkan kenyataan riil yang dihayati
dan patokan nilai yang dihayati (diberi makna, ditafsirkan berdasarkan The
myth of concern). Kedua hal tersebut mempunyai beberapa kecenderungan yang
sama dan tidak berhenti pada usaha penyalinan peristiwa, tetapi terlibat
langsung dalamhal yang diceritakan karena peristiwa haruslah ada maknanya yaitu
peristiwa dan konsepsi yang terjalin oleh pandangan dunia yang utuh.
Collingwood
menyatakan bahwa semua sejarah adalah pikiran, sejarahwan tidak perlu jauh
melibatkan diri bahwa manusia itu pada dasarnya sama. Apa yang dilihat aktor
sejarah belum tentu sama dengan sejarawan. Dengan menyatakan situasi dari si
aktor, sejarawan sadar dengan interpretasinya sendiri. Kritik terhadap the
myth of concernI menyangsingkan kesahan yang mutlak. Kritik tersebut
disebut juga counter-myth (mitos perlawanan). The myth of concern
adalah mitos yang dimiliki oleh kelompok atau golongan yang sedang berkuasa dan
menang dalam persaingan sejarah. Mereka menciptakan versi yang terbaik bagi
kelompoknya. Sementara itu, counter myth adalah milik dari orang atau
kelompok yang kalah dalam sejarah. Mereka adalah orang-orang yang tersingkir
dan tidak layak berada di pentas sejarah. Orang-orang yang kalah adalah
orang-orang yang harus dimatikan selamanya. Kalau mereka bisa bertahan dan
melakukan perlawanan untuk mengubah kesan negatife yang sudah ditimbulkan oleh the
myth of concern. Adapun ciri-ciri dari historiografi tradisonal adalah
sebagai berikut:
1) Religio
sentris, artinya segala sesuatu dipusatkan pada raja atau keluarga raja
(keluarga istana), maka sering juga disebut istana sentris atau keluarga
sentris atau dinasti sentris.
2) Bersifat
feodalistis-aristokratis, artinya yang dibicarakan hanyalah kehidupan kaum
bangsawan feodal, tidak ada sifat kerakyatannya. Historiografi tersebut tidak
memuat riwayat kehidupan rakyat, tidak membicarakan segi-segi sosial dan
ekonomi dari kehidupan rakyat.
3) Religio
magis, artinya dihubungkan dengan kepercayaan dan hal-hal yang gaib.
4) Tidak
begitu membedakan hal-hal yang khayal dan hal-hal yang nyata.
5) Tujuan
penulisan sejarah tradisional untuk menghormati dan meninggikan kedudukan raja,
dan nama raja, serta wibawa raja; agar supaya raja tetap dihormati, tetap
dipatuhi, tetap dijunjung tinggi.
6) Bersifat
regio-sentris (kedaerahan), maka historiografi tradisional banyak dipengaruhi
daerah, misalnya oleh cerita-cerita gaib atau cerita-cerita dewa di daerah
tersebut.
7) Raja
atau pemimpin dianggap mempunyai kekuatan gaib dan kharisma (bertuah, sakti).
8) Memiliki
subjektifitas yang tinggi sebab penulis hanya mencatat peristiwa penting di
kerajaan dan permintaan sang raja.
9) Bersifat
melegitimasi (melegalkan/mensahkan) suatu kekuasaan sehingga seringkali
anakronitis (tidak cocok)
10) Kebanyakan
karya-karya tersebut kuat dalam genealogi (silsilah) tetapi lemah dalam hal
kronologi dan detil-detil biografis.
11) Pada umumnya tidak disusun secara ilmiah tetapi sering kali
data-datanya bercampur dengan unsur mitos dan realitas (penuh dengan unsur
mitos).
12) Sumber-sumber datanya sulit untuk ditelusuri kembali bahkan
terkadang mustahil untuk dibuktikan.
13) Dipengaruhi oleh faktor budaya masyarakat dimana naskah tersebut
ditulis sehingga merupakan hasil kebudayaan suatu masyarakat.
14) Cenderung
menampilkan unsur politik semata untuk menujukkan kejayaan dan kekuasaan sang
raja.
Tradisi
lisan penting bagi masyarakat yang belum atau sedikit mengenal kebudayaan
tertulis karena dapat mengisi kekosongan data dari sumber-sumber lain, serta
mengetahui sikap dan pengertian yang diberikan masyarakat bawah terhadap
peristiwa tertentu.
Menurut
Vansina, tradisi lisan adalah bayangan dari realitas. Tradisi lisan tidak
identik dengan realitas atau peristiwa, tetapi kebiasaan peristiwa itu
dimengerti oleh masyarakat. Yang bisa dimengerti adalah realitas baru. Realitas
baru memberi patokan dalam melihat peristiwa atau situasi yang kemudian dan
waktu yang diterapkan pada alam religiomagis memunculkan realitas baru.
Realitas baru dapat berbentuk metaformosis personafikasi, yaitu suatu
norma atau ide demi kelanjutan dapat berubah menjadi tokoh historis atau depersonafikasi
sebagai perubahan bentuk dari peristiwa, nilai, dan tokoh sejarah menjadi
legenda, kemudian dikelilingi oleh mitos, akhirnya menjadi lambing atau simbol
dari ide atau nilai tertentu.
Metaformosis
memang agak ekstrim, tapi yang muncul adalah realitas baru yang merupakan fakta
sementara yang harus dihadapkan dengan fakta yang berasal dari sumber lain.
Penjelasan terhadap fakta sementara itu harus memperhatikan untaian sebelum dan
sesudah, mata rantai sebab-akibat, bergelimang dengan masalah-masalah
struktural, mobilisasi penduduk, dan dinamika aspek-aspek yang mempengaruhi
situasi.
Fenomena
personafikasi adalah perubahan yang memunculkan tokoh sejarah dalam arti
Historiografi tradisional. Penokohan itu dimaksudkan untuk melanggengkan suatu
norma, ide, nilai, atau konsep kehidupan yang mungkin dianggap sebagai sesuatu
yang berharga dalam hidup.
Depersonifikasi adalah gejala perubahan dari tokoh menjadi
nilai-nilai. Di sini, sejarah dinilaikan berdasarkan perilaku dan dikap tokoh
tertentu. Namun mendepersonifikasi seorang tokoh itu tidak mudah sehingga ada
usaha untuk mempersonifikasikan kembali nilai-nilai dalam bentuk tokoh.